Bendahara Umum DPP KNPI, Twedy Ginting, di Jakarta, Senin, menilai cover majalah tersebut seolah-olah memberikan pesan bahwa Presiden Jokowi tidak konsisten dalam agenda pemberantasan korupsi pasca Presiden Jokowi menyetujui revisi terbatas UU KPK.
Baca juga: Nasir katakan survei Litbang Kompas buktikan revisi UU KPK didukung
Baca juga: Partai koalisi dukung penuh Jokowi soal revisi UU KPK
Baca juga: Antasari sesalkan sikap pimpinan KPK
"Cover majalah tersebut tidak mencerminkan sikap dan keputusan Presiden Jokowi yang tetap konsisten dalam agenda pemberantasan korupsi," katanya.
Bahkan, lanjut dia, Presiden Jokowi menegaskan KPK harus diperkuat sebagai institusi yang memegang peran sentral pemberantasan korupsi, sehingga harus didukung dengan kewenangan dan kekuatan yang memadai.
"Presiden Jokowi tidak setuju terhadap upaya-upaya pelemahan KPK, seperti izin pihak eksternal dalam melakukan penyadapan tapi cukup izin dewan pengawas untuk menjaga kerahasiaan. Penyelidik dan penyidik KPK tidak hanya dari unsur kepolisian dan kejaksaan tapi juga dari ASN," ucap Twedy dalam keterangan tertulisnya.
Kasus bocornya Sprindik Anas Urbaningrum yang ditengarai merupakan pesanan politik kekuasaan. Begitu juga dengan bocornya rekaman percakapan Rini Soemarno dengan Dirut PLN Sofyan Basyir.
"Adanya dugaan penggelembungan biaya pembangunan gedung baru KPK berdasarkan Hasil audit BPK 2017. Kasus-kasus ini jelas menunjukkan bahwa KPK bukan tanpa celah. Sehingga membutuhkan dewan pengawas," jelas Twedy.
Ia juga menegaskan bahwa Presiden Jokowi tidak setuju bila KPK harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung dalam hal penuntutan.
"Presiden Jokowi tidak setuju LHKPN melibatkan lembaga atau kementerian lain. Cukup diurus KPK," tuturnya.
Baca juga: Mantan pimpinan KPK: Sebaiknya revisi UU KPK ditunda
Baca juga: Pimpinan KPK: Pembahasan revisi UU KPK seperti sembunyi-sembunyi
Baca juga: Pengamat menyoroti pimpinan di tengah riuh revisi UU KPK
Untuk menjaga marwah dan wibawa KPK sebagai penegak hukum yang menjamin prinsip-prinsip HAM dan kepastian hukum, tambah Twedy, Presiden Jokowi menyetujui KPK memiliki kewenangan SP3 yang dapat digunakan atau tidak oleh KPK. Kewenangan mengeluarkan SP3 dapat digunakan KPK terhadap tersangka yang sedang menjalani proses hukum maksimal dua tahun.
"Dari keputusan tersebut jelas bahwa Presiden Jokowi tetap konsisten dalam agenda pemberantasan korupsi dan menjaga KPK tetap dalam koridor penegakan hukum. Tidak ada celah untuk dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab demi kepentingan tertentu. Bahkan hasil dari jajak pendapat Litbang Kompas tanggal 11-12 September 2019 mayoritas responden menyetujui langkah yang diambil Presiden Jokowi. Sehingga menjadi tidak relevan cover Majalah tempo edisi tersebut," demikian Twedy Ginting.
Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2019