Hanim, bayi perempuan berusia empat bulan tampak tenang di gendongan Sakina, ibunya. Ia tidak terganggu dengan riuhnya suasana di pengungsian korban banjir di MTS Aljihadiyah Bintaro Jakarta Selatan.Nangis terus kalau di rumah, kalau hujan
Siang itu, tim Layanan Dukungan Psikososial (LDP) dari Kementerian Sosial tengah mengajak anak-anak korban banjir bermain dan bernyanyi, sebagai salah satu upaya menghilangkan trauma akibat bencana banjir yang melanda pemukiman tersebut.
Hanim hanya melihat keriuhan orang-orang, tapi tidak terlihat kegelisahan di wajahnya. Ia juga tidak menangis saat ada yang menyentuh tubuhnya.
Padahal tubuh mungil itu mengalami luka-luka kecil di punggungnya akibat tergores benda-benda yang mengapung saat banjir terjadi.
Sakina menceritakan banjir yang terjadi saat hari pertama pada 2020 itu begitu cepat meluluhlantakkan seluruh isi rumah kontrakannya yang tidak jauh dari Kali Pesanggrahan.
Sekitar pukul 05.00 WIB, air kecokelatan mulai masuk rumahnya. Hanya dalam hitungan menit, tinggi air sudah mencapai pinggang orang dewasa.
Tak menunggu lama, Sakina hanya berpikir untuk menyelamatkan kedua anaknya, Hanim dan Azzam.
Baca juga: Pengungsi akibat banjir dan longsor Jabodetabek mulai kembali ke rumah
Keduanya dimasukkan ke dalam kulkas yang baru dua hari menghiasi rumah mereka. Dibalut kain, Hanim dimasukkan ke dalam "freezer", sedangkan Azzam yang belum berusia tiga tahun diletakkan di rak bawah kulkas.
"Kalau tidak dimasukkan ke kulkas mungkin tidak selamat, karena tim evakuasi baru tiba pukul 10.00," kata dia.
Untungnya, kulkas yang dibawa dari rumah mertua itu baru sehari dihidupkan, sehingga suhunya tidak begitu dingin dan kedua anak Sakina bisa masuk dan selamat dari terjangan banjir.
Sakina dan suami, serta kedua anaknya diselamatkan ke rumah tetangga yang berlantai dua, Mereka kemudian bertahan hingga tim penyelamat datang.
Perempuan berhijab panjang berwarna hitam itu, baru sebulan tinggal dikontrakkan di kawasan tersebut dan tidak menyangka akan mengalami bencana pada awal tahun.
Hingga saat ini, Sakina belum berani melihat rumahnya karena masih dihantui kejadian pada Rabu (1/1) pagi itu.
Ria, tetangga Sakina, juga tidak menyangka banjir hebat akan menerjang saat pagi buta. Biasanya, daerah tersebut hanya mengalami genangan semata kaki saat musim hujan dengan intensitas yang ekstrem.
Menggendong Larisa yang masih berusia satu bulan, Ria menceritakan banjir kali ini begitu dahsyat. Pukul 05.00 WIB, dia melihat air sudah masuk dari bagian bawah pintu depan, tidak lama air sudah menggenang, tapi dilihat dari jendela, air di luar rumah sudah hampir menyentuh atap rumah.
Baca juga: Relawan Gojek bahu-membahu bantu korban banjir Jabodetabek
Karena derasnya air, pintu dapur tidak kuat menahan arus, hingga menjebol pintu dan layaknya air bah, menerjang masuk rumah.
Ria bersyukur lantai dua rumahnya bisa menyelamatkan mereka sekeluarga serta para tetangga sekitarnya, termasuk bayi Hanim.
Cukup banyak kisah bayi-bayi yang begitu kuat. Mereka selamat dengan bantuan yang tak terduga-duga. Ada yang diselamatkan di atas keranjang, diletakkan di kotak plastik sampai datang tim penyelamat, dan lainnya.
Kelompok rentan
Anak-anak menjadi kelompok yang rentan saat terjadi bencana. Meski mereka mungkin tidak paham apa yang terjadi tapi di bawah sadarnya rasa takut itu ada.
Seperti Adifa, bayi berusia 1,5 tahun kerap menangis jika berada di rumah, begitu pula kala hujan, menurut Rumdaya, sang nenek, Adifa trauma dengan air.
"Nangis terus kalau di rumah, kalau hujan," kata dia.
Begitu pula dengan Erin yang berusia 17 bulan, akan merengek ketika ada orang tidak dikenal menyentuhnya atau berusaha bercanda dengan bayi berambut ikal itu.
Baca juga: Bank BJB salurkan bantuan untuk korban banjir Jabodetabek dan Banten
Berdasarkan data pusat krisis kesehatan per 5 Januari 2020, terdapat 11.474 warga DKI Jakarta yang terdampak banjir dan mengungsi.
Dari jumlah tersebut, 201 di antaranya adalah bayi dan 2.041 balita, serta 1.487 anak.
Bayi dan balita, serta anak yang masih tergantung dengan orang tuanya mau tidak mau akan ikut mengungsi dan hidup dalam kondisi serba terbatas di pengungsian.
Tapi, tubuh-tubuh kecil itu bisa tetap tertidur nyenyak meski tidak nyaman dan hanya beralaskan kain yang dihampar di atas tikar.
Entah sampai kapan mereka bisa bertahan di tengah kondisi yang tidak nyaman dan serba kekurangan, sementara penyakit, seperti leptospirosis, diare, DBD (Demam Berdarah Dengue), dan ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut), asam lambung, demam, dan infeksi kulit mengancam setelah banjir.
Tuti, salah seorang pengungsi di Masjid Raya K.H, Hasyim Asy'ari di Rawa Buaya, Jakarta Barat, mengatakan sangat membutuhkan popok dan makanan bayi.
"Kalau makanan untuk orang dewasa tidak kurang, tapi makanan dan susu bayi tidak ada, kita juga butuh popok," katanya.
Banjir tidak hanya melanda Ibu Kota Jakarta, tapi juga terjadi di beberapa wilayah lainnya akibat curah hujan ekstrem yang turun sejak 31 Desember 2019 hingga 1 Januari 2020. Hujan juga menyebabkan tanah longsor di Kecamatan Sukajaya, Bogor serta di Lebak, Provinsi Banten.
Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat hingga 4 Januari 2020 sebanyak 60 orang meninggal dunia di Jabodetabek dan Banten akibat banjir dan tanah longsor.
Salah satu upaya penanganan korban bencana alam adalah dengan layanan dukungan psikososial selain pemenuhan kebutuhan dasar mereka.
LDP diperlukan oleh kelompok rentan, seperti anak-anak, lansia, perempuan, dan penyandang disabilitas.
Baca juga: PMI salurkan air bersih untuk korban banjir di Tangerang dan Bekasi
Baca juga: Anak-anak korban bencana di Lebak harus tetap belajar, kata Menko PMK
Baca juga: Anak-anak pengungsi korban banjir dihibur istri sejumlah menteri
Pewarta: Desi Purnamawati
Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2020