Menyihir virus corona dari singa jadi kucing

31 Januari 2021 14:33 WIB
Menyihir virus corona dari singa jadi kucing
Petugas bersiap menyuntikkan vaksin COVID-19 produksi Sinovac kepada penerima vaksin saat pelaksanaan vaksinasi massal di Surabaya, Jawa Timur, Ahad (31/1/2021). Vaksinasi massal tersebut diikuti kurang lebih 5.000 tenaga kesehatan. ANTARA FOTO/Zabur Karuru/rwa.

Vaksin bukanlah senjata pamungkas yang bisa buat pandemi COVID-19 di seluruh dunia sirna seketika, tapi percaya tidak jika vaksin yang telah ditemukan para ilmuwan ini juga bisa menyihir virus corona yang ganas seperti singa jadi kucing yang hidup sekenanya.

Vaksin hanyalah salah satu cara dari beberapa lainnya yang dibutuhkan untuk menghentikan pandemi COVID-19 dari bumi. Yang artinya, vaksin bukanlah satu-satunya yang diperlukan untuk menyelamatkan jutaan manusia terus menderita sakit atau bahkan kehilangan nyawanya akibat virus bernama SARS CoV 2.

Vaksin juga bukan obat yang bisa menyembuhkan pasien COVID-19 dari menderita sesak napas menjadi segar bugar seperti orang migrain lantas tidur nyenyak setelah minum parasetamol.

Vaksin hanyalah upaya pencegahan yang bisa menghindarkan manusia dari marabahaya berbagai penderitaan penyakit COVID-19 dan juga mengenyahkan malapetaka dari dampak sosial ekonomi akibat COVID-19.

Para penyintas yang pulih dari COVID-19 bisa sembuh bukan karena meminum obat yang bisa membunuh virus corona, tapi imunitasnya sendirilah yang menghantam virus hingga benar-benar hilang dari tubuh. Sampai saat ini, obat paling manjur bin mujarab untuk menyembuhkan pasien dari COVID-19 belum ditemukan.

Bukan vaksin yang bisa menghentikan pandemi, bukan obat yang bisa membuat seseorang sembuh dari COVID-19. Yang hanya bisa melakukan itu hanyalah perilaku manusia itu sendiri. Mari dijabarkan satu per satu.

Cara kerja vaksin sederhananya adalah menyuntikkan suatu zat berisi informasi lengkap mengenai suatu zat buruk atau patogen baik itu virus maupun bakteri ke dalam tubuh, agar sistem imun seseorang sudah mengetahui lebih dulu cara melawan penyakit yang disebabkan olehnya.

Baca juga: Yogyakarta berharap bisa peroleh vaksin untuk masyarakat lebih awal

Pencegahan

Ibaratnya, pasukan TNI AL sudah mendapat informasi intelijen bahwa akan ada gerombolan bajak laut yang akan memasuki wilayah NKRI lewat selatan Pulau Jawa, seperti apa kapal dan senjatanya, bagaimana rencana mereka, berapa jumlah pasukannya, dan informasi penting lainnya sudah diketahui sangat-sangat lengkap. Yang pada akhirnya bisa diketahui apabila saatnya para bajak laut tersebut datang, TNI AL dengan sangat mudah meringkusnya bahkan sebelum mereka merusak.

TNI AL adalah sistem imun manusia, bajak laut adalah virus corona, dan informasi intelijen adalah vaksinnya. Namun, walaupun sudah mendapat informasi intelijen, bukan berarti TNI AL bisa kebal dari serangan bajak laut? Sama halnya dengan seseorang yang sudah divaksin COVID-19, bukan berarti bisa kebal tidak tertular virus corona.

Pada dasarnya vaksin adalah upaya pencegahan agar seseorang memiliki kemungkinan yang sangat kecil terinfeksi virus corona. Apabila tertular virus COVID-19 juga tidak menjadi sakit, atau kalaupun masih bergejala hanya keluhan ringan dan tidak sampai pada derajat keparahan yang bisa menyebabkan kematian.

Umpamanya, vaksin adalah tongkat sihir yang bisa mengubah virus corona dari singa menjadi kucing. Jika seseorang mengganggu seekor singa, akibatnya bisa digigit atau malah kehilangan nyawa menjadi santapan raja rimba. Tapi kalau seseorang mengganggu kucing, ya tetap bisa digigit atau dicakar tapi paling-paling hanya luka baret kecil yang ditinggalkan.

Itulah alasan mengapa beberapa orang yang sudah divaksinasi tapi masih tetap bisa terinfeksi COVID-19.

Sebut saja Bupati Sleman Sri Purnomo dan Kepala BNPB Doni Monardo yang beberapa waktu lalu ramai diberitakan karena terkonfirmasi positif COVID-19 meski sepekan sebelumnya sudah divaksinasi. Tidak hanya Bupati Sleman maupun Kepala BNPB, beberapa orang yang sudah divaksinasi, namun tetap positif COVID-19 juga dialami oleh tenaga medis maupun relawan yang terlibat dalam uji klinis tahap tiga vaksin Sinovac di Bandung Jawa Barat.

Ketua Riset Uji Klinis Vaksin COVID-19 Prof. Dr. Kusnadi Rusmil, dr., Sp.A(K), MM mengatakan dari total 1.820 relawan uji klinis fase tiga vaksin Sinovac di Indoneia, sebanyak tujuh orang terkonfirmasi positif COVID-19 meski sudah divaksin.

Namun, ketujuh orang yang positif COVID-19 tersebut tidak memiliki gejala yang berarti dari penyakit pandemi ini. “Dari tujuh orang positif yang dapat vaksin, semua gejalanya ringan. Tanpa demam tapi kehilangan penciuman,” kata Kusnadi.

Begitu pula dengan Kepala BNPB dan Bupati Sleman, keduanya menyatakan tidak merasakan gejala apapun dan baik-baik saja semasa menjalani isolasi mandiri. Terbukti, virus corona tak ubah seekor kucing bagi orang-orang yang sudah divaksin.

Kendati virus corona sudah berubah menjadi kucing, mereka tetap bisa menggigit. Oleh karena itulah perubahan perilaku di kehidupan normal baru tetap dibutuhkan. Perilaku manusia yang mengganggu singa dan kucing itu ibarat perilaku seseorang yang abai terhadap protokol kesehatan.

Baca juga: Melalui vaksinasi, Sulsel ikut perang global melawan COVID-19

Risiko tetap ada

Ketua POKJA Infeksi Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) dr. Erlina Burhan, Sp.P (K)., M.Sc., Ph.D menyebutkan risiko tertular virus corona tetap ada, meskipun sudah divaksin, namun dengan risiko yang menurun signifikan dan gejala yang lebih ringan.

“Risiko terjangkit memang tetap ada setelah diberikan vaksin, namun risikonya jauh lebih rendah, dan kalaupun terjangkit gejala klinisnya juga ringan,” kata Erlina.

Dia juga memastikan bahwa orang-orang yang terkonfirmasi positif setelah divaksinasi COVID-19 bukan tertular oleh vaksin itu sendiri. Vaksin Sinovac yang digunakan di Indonesia menggunakan virus SARS CoV 2 yang sudah dilemahkan sehingga tidak memiliki kemampuan untuk menyerang, namun masih membawa seluruh informasi intelijen yang sangat penting.

Prof Kusnadi sebagai ketua uji klinis fase tiga vaksin COVID-19 menyimpulkan penyebab kasus positif pada individu yang sudah divaksin bisa terjadi karena sebelumnya sudah terpapar virus, ataupun daya tahan tubuh yang sedang rendah.

Erlina menerangkan mengenai arti efikasi vaksin Sinovac yang mencapai 65,3 persen.

“Orang yang mendapatkan vaksin Sinovac risiko terinfeksinya berkurang 65,3 persen dibanding yang tidak divaksinasi. Sebaliknya risiko terinfeksi orang yang divaksin 0,653 kali dibanding orang yang tidak divaksin. Atau sederhananya, orang yang tidak divaksin punya risiko terinfeksi COVID-19 tiga kali lebih tinggi dibanding orang yang divaksin. Dapat kita simpulkan bahwa divaksinasi jauh lebih baik daripada tidak divaksin,” ujar dia.

Perlu diingat bahwa tidak semua orang bisa mendapatkan vaksinasi COVID-19. Beberapa kelompok rentan tidak bisa mendapatkan perlindungan dari vaksin seperti penderita penyakit komorbid, ibu hamil dan menyusui, anak-anak, dan lansia. Pemerintah menargetkan 70 persen dari total penduduk Indonesia atau 181 juta dari 270 juta yang akan divaksin untuk mendapatkan kekebalan kelompok.

Dengan terciptanya kekebalan kelompok atau herd immunity di mana 70 persen populasi sudah diimunisasi, virus COVID-19 tidak akan punya ruang untuk menular lantaran hampir semua orang sudah divaksin. Dengan begitu, protokol kesehatan 3M yaitu memakai masker, menjaga jarak dan menghindari kerumunan, mencuci tangan pakai sabun dan air mengalir, harus tetap dilakukan selagi proses vaksinasi sedang berjalan.

Jika herd immunity terhadap virus COVID-19 sudah tercipta di Indonesia, bukan tidak mungkin virus yang menyebabkan pandemi di tahun 2020 ini bisa hilang dari Tanah Air. Sebut saja penyakit polio yang mewabah di berbagai belahan dunia pada tahun 1950-an dan sudah dinyatakan hilang di beberapa negara, termasuk Indonesia, meskipun beberapa kali muncul kembali. Eradikasi itu berhasil berkat vaksinasi.

Namun sekali lagi, vaksin tidak bisa menjamin seseorang kebal COVID-19. Seekor kucing tetap bisa mencakar atau menggigit bila seseorang mengganggunya secara berlebihan. Perilaku manusia lah yang lebih menentukan dalam mengakhiri pandemi.

Jadi, vaksinasi belum tentu menjamin 100 persen kebal COVID-19. Diharapkan dengan vaksinasi bisa mencapai herd immunity sehingga pandemi dapat teratasi, tapi vaksinasi bukan segala-galanya.

Selalu terapkan 3M, protokol kesehatan, serta menjaga imunitas, jadi jangan begitu divaksin euforia tidak pakai masker lalu pesta-pesta.*

Baca juga: Data Kemenkes sebut 482.145 tenaga kesehatan sudah divaksin

Pewarta: Aditya Ramadhan
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2021