Anggota Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Tuani Sondang Rejeki Marpaung menyatakan bahwa sidang terbuka menjadi kendala terbesar dalam penuntasan kasus KBGO.Penyelesaian kasus KBGO, yang termasuk ke dalam kekerasan seksual, membutuhkan prosedur dan perhatian khusus
"Sidang terbuka menjadi kendala terbesar penuntasan kasus KBGO karena faktor psikologis korban," kata Tuani ketika memaparkan materi di seminar Mengenali dan Melawan Kekerasan Berbasis Gender Online, Selasa.
Baca juga: RUU PKS, setitik harapan untuk keadilan bagi korban kekerasan seksual
Baca juga: Kasus kekerasan seksual di dunia maya meningkat pesat di masa pandemi
Tuani mengatakan penyelenggaraan sidang terbuka memungkinkan masyarakat umum yang menghadiri sidang untuk ikut mendengarkan dan melihat bukti-bukti yang ditampilkan pada saat persidangan.
Kondisi tersebut dapat menimbulkan ketidaknyamanan, bahkan mengakibatkan korban merasa takut dan enggan menuntaskan kasus melalui prosedur tersebut.
"Penyelesaian kasus KBGO, yang termasuk ke dalam kekerasan seksual, membutuhkan prosedur dan perhatian khusus," ujar Tuani.
Tuani mengatakan sidang-sidang yang memiliki keterkaitan dengan kasus susila biasanya diselenggarakan secara tertutup.
Akan tetapi, terkait kasus KBGO, peraturan yang digunakan untuk menuntaskan kasus adalah Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Hal ini yang mengakibatkan sidang dilakukan secara terbuka.
“Karena kasus ini menggunakan UU ITE, jadi sidangnya terbuka,” tutur Tuani menjelaskan.
Selain sidang terbuka, kendala lain yang mengakibatkan korban tidak melaporkan kasus KBGO untuk diproses secara hukum adalah kekurangan alat bukti.
“Karena ketika korban mendapat ancaman atau teror, secara psikologis, korban akan ketakutan dan menghapus foto atau bukti,” kata Tuani.
Tekanan yang diterima oleh korban ketika mendapat ancaman, disertai dengan keinginan untuk menyembunyikan kekerasan yang ia terima dari orang lain, mengakibatkan aksi spontan berupa penghapusan bukti.
Adapun kendala lain yang dihadapi oleh korban untuk menuntaskan kasus KBGO ialah yuridiksi tindak pidana yang tidak jelas akibat tindakan yang dilakukan di dalam jaringan (daring), keterbatasan tenaga ahli yang dapat mengaitkan kasus KBGO ke UU ITE, forensik digital lengkap yang hanya tersedia di Polda dan Mabes Polri, serta identitas palsu milik pelaku yang menyulitkan korban untuk melaporkan.
Oleh karena itu, Tuani berharap pemerintah segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) agar segera menjadi undang-undang yang dapat memfasilitasi korban-korban KBGO untuk menuntut keadilan.
Berdasarkan data Komnas Perempuan, terjadi peningkatan kasus KBGO selama masa pandemi sebesar 920 persen. Pada tahun 2019, laporan yang diterima oleh Komnas Perempuan terkait KBGO terhitung sebanyak 35 kasus. Pada masa pandemi, jumlah laporan yang diterima Komnas Perempuan meningkat menjadi sebanyak 329 kasus.
Catatan Redaksi: berita ini diperbaiki pada pukul 16.13 WIB karena ada kesalahan penyebutan narasumber. Sebelumnya tertulis Kepala Sub Divisi Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) Ellen Kusuma.
Mohon maaf atas kesalahan dan ketidaknyamanan yang ditimbulkan. Terima kasih.
Pewarta: Putu Indah Savitri
Editor: Sigit Pinardi
Copyright © ANTARA 2021