Tepuk tangan digital meriahkan Olimpiade Tokyo

7 Agustus 2021 19:48 WIB
Tepuk tangan digital meriahkan Olimpiade Tokyo
Ganda Putri Indonesia Greysia Pollii/Apriyani Rahayu mengembalikan kok ke arah ganda putri Jepang Yuki Fukushima/Sayaka Hirota dalam penyisihan Grup A Olimpiade Tokyo 2020 di Musashino Forest Sport Plaza, Tokyo, Jepang, Selasa (27/7/2021). Tampak tribun di belakang pasangan tersebut kosong tanpa penonton karena sebagian besar pertandingan Olimpiade digelar tanpa penonton. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/wsj.

Bayangkan masuk ke momen terpenting dalam hidup Anda saat ini, dunia menyaksikan, Anda tahu bahwa semua orang berharap kepada Anda... dan Anda harus menghadapinya sendirian, tanpa dukungan sosial atau emosional

Tak ada teriakan "Indonesia" dengan dentuman penuh semangat di penghujung kata, yang biasanya mengiringi laga tim nasional saat pertandingan bulu tangkis digelar.

Suara teriakan memang terdengar beberapa kali di lapangan, misalnya dalam laga perebutan perunggu Anthony Sinisuka Ginting dan final Greysia Polii/Apriyani Rahayu saat bertarung memperebutkan emas. Namun, itu pun tak seseru biasanya.

Teriakan semangat itu berasal dari beberapa bangku penonton yang diisi oleh ofisial dari Indonesia.

Baca juga: Olimpiade tanpa penonton penyesalan semua pihak, kata Presiden IOC

Dalam sejumlah laga bahkan, teriakan atlet yang menyemangati diri sendiri atau raungan kegagalan hingga jeritan kebahagiaan menjadi satu-satunya sumber suara di arena pertandingan.

Olimpiade yang digelar di era pandemi memang membuat panitia penyelenggara harus membuat kebijakan yang sesuai dengan protokol kesehatan.

Untuk pertama kalinya, ajang olaharga multievent dunia itu harus digelar sebagian besar tanpa penonton, menyusul peningkatan jumlah kasus COVID-19 di kota tuan rumah Tokyo sebelum penyelenggaraan.

Ibu kota negara Jepang itu bahkan berada dalam kondisi darurat COVID-19 saat Olimpiade berlangsung.

Absen penonton
Olimpiade tanpa penonton ternyata menjadi isu tersendiri bagi sejumlah atlet. Petenis Serbia Novak Djokovic awalnya sempat ragu bermain di Olimpiade. Dia kecewa karena penonton dari luar negeri dilarang hadir, termasuk anggota keluarga yang mengunjungi atlet.

Petenis Nick Kyrgios bahkan rela melepas kesempatan, yang mungkin tidak akan pernah dia dapatkan lagi, untuk mewakili Australia di Olimpiade.

Saat mengungkapkan bahwa dia menarik diri dari Olimpiade, Kyrgios mengatakan "ide untuk bermain di depan tribun kosong tidak cocok dengan saya. Tidak pernah."

Menurut psikolog olahraga dari Ohio State Athletics, James Houle, "kebisingan dan kegembiraan penonton adalah sesuatu yang meningkatkan adrenalin atlet."

Sadar atau tidak, para atlet mengambil energi dari suara penonton, entah itu tepuk tangan dan sorakan, bahkan mendapat motivasi dari ejekan. Sehingga kesunyian dari bangku stadion bisa jadi menakutkan bagi atlet.

"Tanpa penonton, atlet benar-benar harus menemukan energi itu di dalam diri mereka sendiri atau dari rekan satu tim mereka. Mereka harus saling mengandalkan lebih dari sebelumnya," kata Houle, dikutip dari Time.

Baca juga: Enggan tanding tanpa penonton, Kyrgios mundur dari Olimpiade

Menariknya, sebuah penelitian menyebutkan bahwa kehadiran penonton memiliki efek fisiologis yang dapat diukur pada otak. Profesor teknik biomedis Universitas Johns Hopkins, Vikram Chib, telah mempelajari hal itu.

Dia menemukan bahwa bagian otak yang berhubungan dengan teori pikiran menjadi lebih aktif ketika orang sedang diamati.

Untuk atlet elit di tingkat Olimpiade, Chib mengatakan ada atau tidaknya penonton mungkin tidak berdampak besar pada kinerja. Mereka mungkin tidak mengalami banyak perbedaan dengan bersaing di arena kosong.

Namun, menurut direktur layanan program web dan harian di Pusat Perawatan dan Studi Kecemasan di Perelman School of Medicine, University of Pennsylvania, Jeremy Tyler, meski para atlet datang ke Olimpiade setelah pencapaian yang luar biasa, mereka masih merasakan dorongan untuk berbuat lebih baik.

Atlet-atet sadar akan harapan dunia kepada mereka, dan merasa bahwa mereka harus memenuhi standar itu hanya akan menambah lebih banyak stres, menurut Tyler. Terlebih lagi, penggemar terbesar mereka, yakni keluarga mereka, tidak ada di sana untuk memberi dukungan.

"Bayangkan masuk ke momen terpenting dalam hidup Anda saat ini, dunia menyaksikan, Anda tahu bahwa semua orang berharap kepada Anda... dan Anda harus menghadapinya sendirian, tanpa dukungan sosial atau emosional," ujar Tyler, dikutip dari Today.

Baca juga: Ikuti Tokyo, Fukushima juga melarang kehadiran penonton di Olimpiade

Absennya suporter karena pandemi COVID-19 menjadi pukulan bagi panitia penyelenggara Tokyo 2020. Dari bulan Maret penyelenggara memang telah memutuskan untuk melarang kehadiran penonton dari luar negeri. Mereka masih berharap pada kehadiran penonton lokal dengan skema pembatasan jumlah mengikuti protokol kesehatan.

Namun, meningkatnya jumlah kasus COVID-19 di ibu kota Jepang, membuat penyelenggara terpaksa memutuskan untuk menggelar Olimpiade tanpa penonton. Bahkan, keputusan itu diambil hanya beberapa hari menjelang pembukaan Olimpiade.

Alhasil, panitia penyelenggara dan Komite Olimpiade Internasional (IOC) mempercepat rencana digital untuk menambahkan elemen baru di arena.

Pada laga final, penyelenggara menyediakan layar untuk menghubungkan peraih medali dengan keluarga dan kerabat melalui panggilan video, setelah pertandingan berakhir.

Di luar arena, penyelenggara berusaha menebus ketidakhadiran penonton lewat platform digital. IOC, pada Rabu pekan lalu, menyebut postingan media sosial Olimpiade telah menghasilkan lebih dari 2 miliar keterlibatan pengguna media digital.

Bahkan, IOC mengklaim lalu lintas platform digital Tokyo 2020 dua kali lipat dari acara Rio de Janeiro 2016.

Baca juga: Panpel Olimpiade bertaruh pada teknologi untuk gantikan penonton

Gebyar dunia maya
Olimpiade yang digelar tanpa penonton, mau tidak mau membuat para penggemar bermigrasi ke dunia maya. Meski tanpa sorak-sorai, yang biasanya memenuhi arena, dukungan penonton tetap dirasakan lewat platform digital.

Untuk memeriahkan Olimpiade, sehari sebelum upacara pembukaan, platform media sosial Twitter meluncurkan emoji khusus Simone Biles, pesenam Amerika Serikat.

Emoji tersebut berupa seekor kambing (goat) yang mengenakan pakaian senam dan medali emas. Simbol kambing (goat) itu mengacu kepada status Biles sebagai "G.O.A.T" (greatest of all time atau yang terbesar sepanjang masa), sebuah tag yang sejak lama menempel pada atlet Olimpiade berusia 24 tahun itu selama beberapa tahun terakhir.

Simbol itu dihasilkan dengan memasukkan tagar #SimoneBiles atau #Simone dalam cuitan.

Kemeriahan Olimpiade juga terasa di TikTok melalui tanda pagar #OlympicsSpirit yang menjadi trending di "discover" pada aplikasi video pendek itu.

Melalui tagar tersebut pembuat konten berbagi berbagai macam informasi menarik, di antaranya "Mengenal Kontingen Pengungsi Olympic," "Deretan Top Skor Sepak Bola di Olimpiade" hingga "Kpop Idols yang awalnya atlet."

Ada pula tagar #TimMerahPutih yang saat ini telah mengantongi 911,5 juta views. Video-video dengan tagar tersebut berisikan dukungan masyarakat Indonesia kepada kontingen Indonesia di Olimpiade Tokyo.

Baca juga: Selancar ombak dan skateboard bantu naikkan trafik penonton Olimpiade

Tak terkecuali ucapan selamat dan terima kasih kepada para atlet yang telah mempersembahkan medali untuk Indonesia, termasuk saat pasangan ganda putri Greysia Polii dan Apriyani Rahayu berhasil membawa pulang emas.

Dalam keterangan resminya, Facebook menyebutkan bahwa dalam kurun waktu 24 jam usai kemenangan, Apriyani Rahayu menjadi atlet yang paling banyak dibicarakan di Facebook di seluruh dunia, sementara Greysia Polii menduduki peringkat kelima.

Dalam 24 jam setelah keberhasilan ganda putri tersebut menumbangkan Chen Qing Chen/Jia Yi Fan dari China pada laga final, tagar Facebook menyebutkan tanda pagar #IndonesiaBisa telah digunakan lebih dari 374.000 kali di seluruh platform Facebook dan Instagram.

Di Instagram, jumlah pengikut pasangan peraih emas Olimpiade Tokyo 2020 ini juga meningkat secara fenomenal. Dalam kurun waktu 24 jam terakhir, Greysia mendapatkan 418.427 pengikut baru (naik 87,2 persen), dan Apriyani mendapatkan 342.417 pengikut baru (naik 146,92 persen).

Laporan Facebook juga menyebutkan bahwa 33 persen orang yang membicarakan Olimpiade di Indonesia berusia 25-34 tahun. Kelompok usia ini adalah kelompok yang paling aktif terlibat dalam percakapan tentang Olimpiade, diikuti oleh kelompok usia 18-24 tahun.

Atlet yang paling banyak dibicarakan di Facebook di Indonesia adalah Apriyani Rahayu, Greysia Polii, Anthony Ginting. Sementara, olahraga yang paling banyak dibicarakan di Facebook di Indonesia adalah bulu tangkis, angkat besi dan sepak bola.

Pada akhirnya Olimpiade seakan menjadi hiburan tersendiri bagi masarakat dunia, sekaligus penyuntik semangat bagi mereka yang tengah bergulat dengan COVID-19.

Bagi Indonesia khususnya, Olimpiade juga bisa jadi pil yang mempererat persatuan dan kesatuan bangsa, mengobarkan rasa nasionalisme menjelang Hari Kemerdekaan.

Baca juga: Kemenangan Greysia Polii dan Apriyani Rahayu berlanjut di media sosial

Pewarta: Arindra Meodia
Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2021