• Beranda
  • Berita
  • ICJR: Skema 'Intervensi Kesehatan' dekriminalisasi pengguna narkotika

ICJR: Skema 'Intervensi Kesehatan' dekriminalisasi pengguna narkotika

22 Februari 2022 14:01 WIB
ICJR: Skema 'Intervensi Kesehatan' dekriminalisasi pengguna narkotika
Tangkapan layar Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati dalam seminar bertajuk “Memadamkan Kebakaran Lapas: Evaluasi Menyeluruh Kebijakan Sistem Peradilan Pidana Indonesia” yang disiarkan secara langsung di kanal YouTube Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Selasa. (21/9/2021). ANTARA/Putu Indah Savitri/pri.

..., permasalahan 'overcrowding' hanya akan berpindah ke tempat-tempat rehabilitasi.

Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati bersama Jaringan Reformasi Kebijakan Narkotika (JRKN) memperkenalkan skema “Intervensi Kesehatan terhadap Pengguna Narkotika” sebagai bentuk dekriminalisasi pengguna narkotika di Indonesia.

"Skema ini menjamin setiap orang yang kedapatan menguasai atau memiliki narkotika dalam jumlah ambang batas (threshold) harian 1—7 hari tidak menjadi subjek dari proses pidana," kata Maidina dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Selasa.

Mereka yang tertangkap menguasai dan memiliki narkotika dalam jumlah ambang batas harian 1—7 hari akan dikirim oleh petugas yang terkait kepada panel asesmen di pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) yang terdiri atas dua tenaga ahli kesehatan dari fasilitas kesehatan terkait dan seorang dari komunitas atau konselor adiksi.

Panel ini, kata dia, akan menentukan intervensi apa yang dapat diberikan kepada orang yang menggunakan narkotika tersebut.

"Perlu kami tekankan, skema ini adalah respons nonkriminal yang menempatkan alternatif penentuan intervensi pengguna narkotika berbasis kesehatan," ucapnya.

Dikatakan pula bahwa intervensi ini tidak harus selalu rehabilitasi di dalam lembaga. Intervensi tersebut dapat berlangsung dalam bentuk rehabilitasi rawat jalan, konseling, bahkan sampai dengan tidak ada intervensi apa pun.

"Yang perlu kami garis bawahi, tidak semua pengguna narkotika harus menempuh rehabilitasi, apalagi rehabilitasi berbasis hukuman," kata Maidina.

Laporan narkotika tahunan United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) 2019 menyatakan bahwa hanya 1 dari 9 orang pengguna narkotika yang mengalami penggunaan bermasalah atau problematic use. Pada laporan tahun 2020, hanya 13 persen yang mengalami gangguan dalam penggunaan narkotika.

"Jika reformasi kebijakan yang direkomendasikan hanya rehab, apalagi dengan rehab berbasis hukuman, permasalahan overcrowding hanya akan berpindah ke tempat-tempat rehabilitasi," ucapnya.

Pada bulan September 2021, merespons terjadinya kebakaran Lapas Kelas IA Tangerang, Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly menyebut bahwa UU Narkotika menjadi penyebab overcrowding dalam rutan dan lapas di Indonesia.

Jaringan Reformasi Kebijakan Narkotika (JRKN) sepakat dengan hal ini bahwa kebijakan narkotika yang memuat banyak pasal karet untuk memenjarakan pengguna narkotika menjadi penyebab utama overcrowding.

Pendekatan penghukuman dan pemenjaraan bagi pengguna narkotika, kata dia, harus dilakukan reformasi.

Baca juga: Lapas bukan "tempat pembuangan akhir"

Baca juga: Pasal narkoba harus keluar dari RUU KUHP

Pewarta: Putu Indah Savitri
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2022