• Beranda
  • Berita
  • Longgarnya syarat perjalanan belum tentu ciptakan lonjakan kasus

Longgarnya syarat perjalanan belum tentu ciptakan lonjakan kasus

12 Maret 2022 17:38 WIB
Longgarnya syarat perjalanan belum tentu ciptakan lonjakan kasus
Tangkapan layar Epidemiolog dari Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono dalam webinar polemik MNC Trijaya "Bersiap Hidup Di Era Endemi" yang diikuti di Jakarta, Sabtu (12/3/2022). (ANTARA/Hreeloita Dharma Shanti)

Epidemiolog dari Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono mengatakan adanya pelonggaran dalam syarat perjalanan bagi para pelaku perjalanan saat ini belum tentu akan memicu terjadinya lonjakan kasus COVID-19 di masyarakat.

“Apakah akan meningkatkan lonjakan? Itu belum tentu. Karena sebagian, itu hanya persyaratan yang bisa dilakukan kalau sudah imun,” kata Pandu dalam webinar polemik MNC Trijaya "Bersiap Hidup di Era Endemi" yang diikuti di Jakarta, Sabtu.

Pandu menuturkan segala bentuk pelonggaran pada syarat bagi para pelaku perjalanan, masih merupakan uji coba dan pemerintah sudah melakukan kalkulasi risiko dengan cermat, sesuai dengan kondisi pandemi di Indonesia.

Selain itu, pelonggaran tersebut dapat diterapkan karena karena imunitas pada masyarakat sudah mulai terbentuk. Apalagi dengan adanya pemberian vaksinasi booster yang sedang digencarkan saat ini.

Walaupun demikian, adanya penghapusan syarat untuk melakukan tes rapid antigen dan PCR baik pada transportasi udara, laut juga darat pada para pelaku perjalanan, diberlakukan untuk masyarakat yang sudah melakukan vaksinasi COVID-19 sebanyak dua kali.

Menurut Pandu, aturan itu ke depannya dapat ditingkatkan agar pelonggaran hanya dapat dinikmati oleh masyarakat yang sudah melakukan vaksinasi penguat. Hal itu dimaksudkan untuk memotivasi penduduk Indonesia supaya melakukan vaksinasi.

Sebab, katanya, ketahanan menghadapi COVID-19 yang efektif diterapkan dalam masyarakat Indonesia hanya melalui pemakaian masker dan melakukan vaksinasi. Sehingga pemerintah harus berupaya lebih agar cakupan vaksinasi semua dosis dapat menyentuh 100 persen dari total penduduk Indonesia.

Bila menerapkan jaga jarak, katanya, hal tersebut akan sulit karena dapat menyebabkan tumpukan warga, seperti pada penggunaan transportasi publik.

“Itu adalah alat untuk memotivasi penduduk supaya mau disuntik vaksin penguat. Penduduk Indonesia kalau dipaksa, diwajibkan, mereka suka melawan, suka menghindar. Disiplin kita lemah sekali,” ucap dia.

Epidemiolog Griffith University Australia Dicky Budiman menekankan bahwa Indonesia masih belum melalui masa kritis COVID-19, sehingga jika pemerintah mau menerapkan pelonggaran, perlu ada penguatan pada aspek lain.

Menurut Dicky, pemerintah harus memperkuat sampling dan surveillance. Penetapan aturan itu juga harus dilakukan secara selektif karena sebanyak 30 provinsi masih memiliki angka positivity rate di atas lima persen.

“Kalau orang domestik tidak dilakukan tes, itu tidak masalah karena memang secara modal imunitas sudah dimungkinkan. tapi harus hati-hati,” kata Dicky.

Hal itu, menurut dia, disebabkan karena sedang berkembangnya varian Omicron BA.2 yang dapat meningkatkan hunian rumah sakit juga angka kematian, seperti yang terjadi di Hong Kong, salah satu negara yang melonggarkan protokol kesehatan.

“Kita sebenarnya sudah on track yang disebut dengan prediksi moderat di gelombang omicron ini. Jangan sampai malah menjadi berat karena kita tidak sabar untuk segera melakukan banyak pelanggaran, itu yang berbahaya,” ujar dia.

Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2022