Dari Kota Bandung, Eka Pratama mengepakkan sayapnya ke restoran tertinggi di dunia, Atmosphere Burj Khalifa, Dubai, sebagai kepala chef. Pria kelahiran 29 Januari 1987 itu bahkan menjadi orang Asia pertama yang menjabat kepala chef di salah satu restoran terbaik di Dubai.Karier saya mulai naik setelah ikut kompetisi
Eka merupakan jebolan Sekolah Tinggi Pariwisata (STP) Bandung tahun 2008 yang tadinya tidak pernah mempunyai mimpi untuk berkarier ke negeri orang, termasuk Dubai.
"Saat itu saya takut mau berangkat, yang lain bisa bahasa Inggris, saya tidak bisa. Bayangan saya saat itu hanya cari kerja di Bali," ujar Eka dalam wawancara eksklusif kepada Tim Kantor Berita Antara, di restoran Atmosphere Burj Khalifa, Dubai, Senin (14/3).
Eka menjejakkan kakinya di Dubai pada usia 19 tahun, tiga bulan setelah lulus dari STP Bandung. Bahkan saat itu ia belum sempat diwisuda.
"Awalnya saya hanya mengantar teman-teman saya yang ikut seleksi ke Jakarta. Saya memang enggak mau ikut, karena sama sekali tidak bisa bahasa Inggris, hanya tahu yes no saja. Tapi HRD-nya melihat kenapa saya tidak ikut tes, lalu saya disuruh wawancara. Ternyata ia bisa bahasa Indonesia, dan saya lolos," jelas Eka.
Pada Agustus 2008, bersama sekitar 4.000 orang lainnya, Eka terbang ke Dubai dengan berbagai rasa yang berkecamuk, takut karena keterbatasan kemampuan bahasa namun juga membawa tekad kuat untuk merajut masa depan yang lebih baik. Ia pun terpaksa meminjam uang untuk modal berangkat ke Dubai.
Menurut Eka, pada tahun tersebut, Dubai belum seperti sekarang. Gedung-gedung baru dibangun. Dan pekerja dari Indonesia cukup mendominasi. Di Atlantis Hotel tempat pertama ia bekerja, ada sekitar 3.000 orang Indonesia yang tersebar di semua departemen.
Namun, kondisi tersebut tidak berlangsung lama, pada awal tahun 2009 terjadi krisis, ribuan orang Indonesia di PHK. Eka, termasuk yang beruntung.
Baca juga: Jerman tambah 17 restoran "Michelin Star"
Baca juga: Michelin Guide tangguhkan rekomendasi restoran di Rusia
Menempa diri
Selanjutnya, Eka tidak hanya beruntung. Tetapi ia mendobrak tembok-tembok yang membatasinya hingga berhasil mencapai jabatan tertinggi seorang chef.
Eka merobohkan tembok pertamanya, keterbatasan bahasa Inggris. Selama 1,5 tahun bekerja di Dubai, ia belajar mati-matian. Eka bahkan meminta secara khusus kepada rekannya asal Irlandia untuk bekerja sambil belajar bahasa Inggris.
"Saya ikut sama dia, disuruh-suruh di dapur sambil saya serap bahasa Inggris-nya. Setelah 1,5 tahun saya sudah lebih percaya diri. Sejak itu ada saja opportunity datang, bertemu orang-orang baik yang menawarkan kesempatan," ungkap Eka.
Lima tahun pertama, menurut Eka, adalah tahun-tahun terberat. Hampir 24 jam hidupnya dihabiskan di dapur. Ia hanya tidur sekitar 3 jam sehari. Gaji pertama yang ia dapatkan saat itu hanya sekitar Rp3juta. Ia pun terpaksa tinggal di apartemen sederhana bersama lima orang lainnya dari Indonesia.
"Saya sampai Dubai itu tahun 2008, teman saya sampai duluan ke sini terus saya diajak ke mall. Setelah itu saya baru ke mall lagi 5 tahun kemudian," kata Eka.
"Bekerja di dapur itu berat," lanjut Eka, seraya menunjukkan bekas luka di dahinya akibat pukulan yang ia terima di dapur.
Kompetisi yang Eka ikuti selama awal karier, tidak hanya membantu Eka mengangkat namanya, tetapi juga membentuk dirinya. Tiga tahun awal mengikuti kompetisi, ia selalu pulang dengan tangan kosong. Tetapi Eka tidak menyerah. Dari situ ia belajar dari kesalahan.
"Untuk chef, kompetisi penting, ada 30-40 negara yang ikut, kita lihat different things, different pattern, different technic, different preparation, different organization. Kalau negara Singapura organisasinya top, yang mereka bawa portable items. Kalau kita tidak pernah ke sana, kita tidak pernah melihat. Somehow, it helps. It's very help," ujar Eka.
Kompetisi juga membuatnya terus menempa diri dan lihai mengatur waktu. Ia harus bekerja 12 jam di dapur, saat mengikuti kompetisi, ia bisa berkutat di dapur hingga 18 jam untuk melakukan latihan. Persiapan jelang kompetisi bisa berlangsung lima bulan. Sayangnya, saat berkompetisi Eka tidak mewakili Indonesia karena selalu gagal mendapatkan sponsor.
"Saat ikut kompetisi, saya mau representing Indonesia, tetapi saya tidak dapat sponsor dari Indonesia karena saya enggak ada nama saat itu. Akhirnya saya dikirim dari sini, representing Uni Emirates Arab (UAE). Dulu dari yang ikut kompetisi sama saya itu, 80 persen dari Indonesia mewakili UAE," ungkap Eka.
Berbagai penghargaan yang telah Eka raih antara lain, UAE CULINARY COMPETITION 4 gold 1 silver 1 Bronze (2012), Dubai World Hospitality CUP GOLD Medal (2012), Luxembourg Culinary World Cup Bronze Medal for Culinary Artistry (2014), Culinary Olympic Germany Bronze Medal for Culinary Artistry representing UAE (2016).
"Karier saya mulai naik setelah ikut kompetisi. Setelah dapat penghargaan pada tahun 2012, saya sudah tidak cari-cari kerja lagi, karena banyak tawaran datang. Selebihnya saya keep up saja," kata Eka yang baru-baru ini juga baru saja mendapat penghargaan "inaugurated to the Esteem Chefs Irish Beef Club representing UAE".
Baca juga: Semangkuk salad sehat dengan cita rasa dunia
Baca juga: Ngemil opak bergaya Eropa sambil minum wine
Baca juga: Roti lapis Italia dan roti khas Prancis hadir jadi teman ngopi
Halaman selanjutnya: Melawan Rasisme
Melawan Rasisme
Untuk menjabat executive chef atau kepala chef, seorang chef -- terutama dari Asia, harus melalui perjalanan panjang setidaknya 20 hingga 30 tahun pengalaman bekerja. Belum lagi rasisme di lingkungan kerjanya yang begitu kental. Kepala chef biasanya didominasi oleh orang-orang dari Eropa. Eka hanya butuh waktu lima tahun. Ia mendobrak tembok rasisme terhadap orang Asia terutama Indonesia untuk menjadi pemimpin.
"Saya itu growth based on racism. Setelah bisa bahasa Inggris, saya mulai talkative. Kenapa sih banyak orang asing muda sudah promosi, saya tanya bagaimana mereka di usia 23 tahun sudah bisa dapat promosi. Mostly, jawabannya sama, kata mereka kalau kamu tidak punya skill seperti saya, atau tidak punya passport seperti saya, forget it. Well, i think itu, kata-kata yang sampai sekarang saya masih ingat. At the same point, itu benar, at some point, it hurts," ujar Eka.
Namun, Eka tidak meratapi dirinya dengan kondisi tersebut. Ia justru terus mengukir kemampuannya dengan mengikuti berbagai kompetisi hingga namanya pelan-pelan berkibar.
Pada tahun 2013, ia sempat pindah ke Kuwait untuk menjadi kepala restoran. Ia hanya bertahan 1,5 tahun di sana.
Kembali ke Dubai, Eka langsung menorehkan karier pertamanya sebagai kepala chef di sebuah restoran mewah, Bateaux Dubai. Meskipun saat itu namanya sudah mulai dikenal, ia harus melalui rangkaian tes yang panjang, hanya karena dia bukan berasal dari Eropa.
"Waktu itu saya diinterview, mereka ragunya banyak. Kalau bule mungkin hanya disuruh coba masak 3 sampai 4 dishes, sudah. Dulu saya diminta masak 24 dishes. Jadi saya test food selama satu minggu karena mereka butuh make sure, ini pertama kalinya orang Indonesia dites untuk menjadi kepala chef," ungkapnya.
"Akhirnya saya lolos. Ya, feel proud dapat promosi itu, menjadi orang Asia pertama di sana yang menjabat sebagai kepala chef," tambah Eka.
Meskipun sudah berhasil melalui rangkaian tes yang panjang, Eka sebagai kepala chef masih harus menghadapi berbagai tantangan.
"Banyak tantangannya, banyak orang nyinyir yang harus dihadapi. Mereka banyak ragu terutama soal management skill, soal ability to make a deal, dealing with partners and suppliers, ability to provide financial," kata Eka.
Ia menambahkan, "saat itu pun saya masih muda, jadi banyak yang enggak percaya saya bisa deliver itu semua."
Selama 1,5 tahun menjadi kepala chef di Bateaux Dubai, Eka mendapat tawaran di restoran Atmosphere, yang bertempat di Burj Khalifa, bangunan tertinggi di dunia yang pernah dibuat oleh manusia. Tanpa ragu, ia pun mengambil tawaran tersebut, meskipun harus melepas topinya sebagai kepala chef.
"Saya ditawari kepala chef di sini untuk menjadi asistennya. Walaupun drop satu posisi, tapi mungkin itu yang saya belajar, enggak usah takut stepping back. Ada orang sudah di satu level, dia tidak mau turun. Akhirnya saya turun satu posisi," ungkap Eka menceritakan proses sebelum ia akhirnya didaulat menjadi Kepala Chef di At.Mosphere.
Untuk menjadi Executive Chef di Atmosphere, setidaknya harus memiliki Michelin Star. Michelin Star adalah sebuah penghargaan tertinggi dalam dunia kuliner yang biasanya diberikan kepada sebuah restoran dan berdampak juga bagi chef-nya.
Pada tahun 2018, Kepala Chef di Atmosphere keluar. Kemudian Eka ditunjuk oleh manajemen sebagai penggantinya.
"Manajemen nanya, lo berani enggak leading tempat ini. Saya bilang enggak tahu karena namanya terlalu besar, karena requirementnya Michelin Star experience. It's a must. Saya ada kerja sama tim Michelin Star, saya bikin french food selama 8 tahun. Akhirnya manajemen take a chance," papar Eka.
Namun, Eka sempat berhenti dari Atmosphere karena saat pergantian manajemen, ia harus memimpin restoran bersama kepala chef baru yang mereka bawa. Ia akhirnya memilih melipir. Ia memegang beberapa restoran di hotel-hotel yang baru dibuka, yang masih satu grup dengan Atmosphere. Setelah tujuh bulan berkelana, ia ditarik kembali ke Atmosphere.
"CEO telepon saya, memberi tawaran lagi, akhirnya saya di sini sampai sekarang," ujar Eka.
Saat ini Eka membawahi sekitar 29 orang dari berbagai negara, termasuk tujuh orang dari Indonesia. Sebelum pandemi, ia mengepalai 48 orang dan telah berhasi menyumbang berbagai penghargaan sejak ia menjadi kepala chef.
Penghargaan yang disabet oleh Eka dan timnya antara lain, TimeOut Commended Afternoon Tea, Good Food Awards Best Dining Experiences (2017), Restaurant TimeOut Best Afternoon Tea Fact Dining Awards Best European Restaurant (2018), Restaurant World Culinary Awards 2020 Best Landmark Restaurants (2020), TimeOut Recommended Restaurants (2021), dan TimeOut most Commended Romantic Restaurant (2022).
Meskipun sudah menjadi kepala chef di restoran bergengsi, bukan berarti tempaan berhenti begitu saja. Eka terpaksa membuka restoran dengan hanya lima orang yang tersisa sepanjang tahun 2020.
Pandemi sempat menghajar Atmosphere, sehingga harus tutup selama dua bulan. Puluhan karyawan terpaksa pulang ke negara asalnya karena tidak kuat bertahan di Dubai dengan biaya hidup yang cukup tinggi.
Eka memilih bertahan bersama istri dan dua anaknya. Eka dan istri membuka usaha makanan di rumah selama lockdown diterapkan di Dubai. Ia mengaku menjual makanan apa saja, kemudian mengantarnya seminggu sekali. Setidaknya ia bisa mendapat pemasukan sekitar Rp50 juta dari situ untuk bertahan di Dubai.
Hal ini pula yang menjadi cikal bakal idenya untuk mulai berbisnis kuliner bersama adiknya. Ia bertekad membangun bisnis kuliner yang bisa ia kembangkan di Dubai serta ia bawa ke Indonesia.
"Selama setahun ini lagi dibangun bisnisnya, makanan hotel yang bisa dinikmati di rumah," ungkap Eka.
Kini, sebagai kepala chef, Eka juga mengontrol agar tidak ada lagi rasisme. Menurutnya, seorang chef bukan dinilai darimana ia berasal, namun bagaimana kemampuannya.
Baca juga: Restoran tertinggi destinasi kuliner baru di Makassar
Baca juga: Chef restoran Tabla, Floyd Cardoz meninggal dunia akibat corona
Baca juga: Restoran di Afrika pegang rekor dunia berkat menu milkshake terbanyak
Pewarta: Monalisa
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2022