Anggota Badan Legislasi DPR RI Mulyanto menyatakan, RUU Energi Baru dan Terbarukan (EBT) perlu mencantumkan ketentuan besaran terkait Domestic Market Obligation (DMO) atau kewajiban memprioritaskan pasokan nasional untuk batu bara.Sekarang engaturan DMO dilakukan dalam bentuk Keputusan Menteri ESDM, di mana besaran DMO adalah 25 persen dari rencana produksi. Peningkatan bentuk pengaturan dari Kepmen menjadi Undang-undang serta peningkatan besaran DMO dari 25 persen menjadi 30
“Sekarang engaturan DMO dilakukan dalam bentuk Keputusan Menteri ESDM, di mana besaran DMO adalah 25 persen dari rencana produksi. Peningkatan bentuk pengaturan dari Kepmen menjadi Undang-undang serta peningkatan besaran DMO dari 25 persen menjadi 30 persen adalah dalam rangka untuk lebih memastikan kebutuhan batu bara dalam negeri," kata Mulyanto dalam keterangan di Jakarta, Rabu.
Menurut dia, dengan memastikan kebutuhan dalam negeri, bisa dipastikan bahwa kebutuhan baik untuk listrik maupun industri dalam negeri dapat tercukupi dengan harga yang terjangkau dan stabil.
Baca juga: RUU Energi Baru Terbarukan dipastikan akan siap pada tahun 2022
Untuk itu, politisi Fraksi Partai Keadilan Sejahtera itu menyatakan bahwa pihaknya menyambut baik putusan rapat pleno Badan Legislasi DPR yang menetapkan DMO batu bara sebesar 30 persen. Angka ini dinilai cukup logis untuk keperluan menjaga ketahanan energi nasional.
Mulyanto menjelaskan dalam rapat pleno Baleg bersama pengusul RUU-EBT, Kamis (17/3), tercapai kesepakatan bahwa DMO batu bara sebesar 30 persen dimasukkan ke dalam RUU EBT, agar negara semakin kuat hadir dalam menjamin ketahanan energi nasional, khususnya energi listrik.
Ia menambahkan ketentuan DMO ini penting dimasukkan ke dalam RUU EBT, sebab pengusaha batu bara seringkali melanggar ketentuan DMO ini. Mereka lebih memilih mengekspor produksi batu bara ke luar negeri, apalagi pada saat harga batu bara internasional sedang tinggi sehingga operasional PLN terancam dan risiko listrik padam meningkat.
“Untuk itu peran negara dalam menjamin pasokan batu bara untuk kebutuhan dalam negeri penting untuk ditingkatkan. Di sisi lain kebijakan umum energi kita menempatkan komoditas energi primer, seperti batu bara, tidak sebagai komoditas ekonomi yang diperdagangkan dalam rangka meningkatkan devisa negara. Namun lebih ditempatkan sebagai sumber penunjang pembangunan nasional,” terang Mulyanto.
Baca juga: Pengamat: Kenaikan harga energi fosil jadi momentum dorong potensi EBT
Sebelumnya, Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menilai peningkatan besaran DMO akan mempengaruhi kinerja perdagangan internasional Indonesia dan akan mendistorsi pasar global dengan berimplikasi pada hubungan Indonesia dan mitra dagangnya.
“Kebijakan ini juga berpotensi memicu retaliasi atau pembalasan dari mitra dagang dan akan mempengaruhi kestabilan harga komoditas,” kata Kepala Penelitian CIPS Felippa Ann Amanta.
Menurutnya, jika banyak komitmen ekspor atau perdagangan yang tidak terpenuhi maka Indonesia bisa terlihat seperti mitra dagang yang tidak bisa diandalkan.
Padahal, lanjutnya, saat ini Indonesia sebagai tuan rumah G20 punya posisi kuat untuk memimpin koordinasi dan kerja sama internasional demi pemulihan ekonomi global.
Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2022