Tingkat partisipasi dan representasi perempuan dalam bidang Science, Technology, Engineering, and Math (STEM) masih terbilang rendah. Padahal di sisi lain, permintaan talenta pada bidang ini diperkirakan akan terus bertumbuh hingga tahun-tahun mendatang.Di ASEAN itu pemimpinnya juga perempuan
Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2017 mencatat hanya 30 persen perempuan yang memiliki pekerjaan di sektor STEM. Sementara data global, UNESCO mencatat hanya 22 persen perempuan profesional yang bekerja di bidang kecerdasan artifisial (AI) pada 2018.
Managing Director Cisco Indonesia Marina Kacaribu berpendapat bahwa permasalahan ketimpangan gender pada bidang STEM dipengaruhi oleh bias persepsi yang mengidentikkan pekerjaan bidang tersebut hanya bersifat maskulin.
Baca juga: Studi: Asia Pasifik semakin beralih ke inovasi "cloud"
Baca juga: CEO Cisco katakan seperempat staf telah tinggalkan Ukraina
Marina bercerita ia sendiri saat masih berkuliah tetap melakukan aktivitas yang selama ini dipersepsikan sebagai pekerjaan laki-laki saja, mulai dari kerja praktik di lapangan, dituntut mengetahui cara menggulung kabel, masuk ke dalam manhole di pinggir jalan, hingga berkeliling untuk mengetahui bagaimana menangani jaringan telekomunikasi.
Terlepas dari hal tersebut, Marina menegaskan bahwa STEM tidak melulu perkara kemampuan teknis (hard skill), melainkan yang terpenting juga melibatkan kemampuan interpersonal atau soft skill. Sebagai contoh, talenta bidang STEM dituntut untuk mencari solusi agar teknologi dapat diaplikasikan dengan konteks lokal yang sesuai.
"Beberapa persepsi bisa mematahkan semangat perempuan. Saya pikir itu tidak hanya di komunitas atau masyarakat, tapi juga terkadang muncul dari keluarga sendiri. Di lingkungan itu (STEM), kita (perempuan) masih cukup minoritas, kadang di dalam satu departemen yang berisi 60-70 orang mungkin perempuannya hanya tiga," kata Marina dalam wawancara bersama ANTARA, ditulis Kamis.
Ketika dihadapkan pada lingkungan yang tidak mendukung untuk pengembangan di bidang STEM, Marina mendorong agar perempuan bisa menjauh bahkan meninggalkan lingkungan beracun (toxic) karena tak akan membawa perubahan apapun pada diri perempuan.
Oleh sebab itu, ia menggarisbawahi pentingnya memiliki sistem pendukung (support system) yang dapat membantu peningkatan partisipasi perempuan di bidang STEM, termasuk komunitas maupun perusahaan yang memiliki kultur dan kepemimpinan yang baik.
"Kalau kita bekerja di lingkungan yang baik dan bekerja di bawah pemimpin yang baik, itu sangat membantu untuk perkembangan kita secara skills dan secara target," tutur Marina.
Meski belum seluruh lingkungan dapat menerima keterlibatan perempuan, Marina percaya bahwa aksi yang konsisten dan kuat harus tetap dilakukan perempuan, terutama tentang bagaimana perempuan berdaya untuk membuat pilihan serta bagaimana seorang pemimpin perempuan mendorong perempuan lainnya untuk berada dalam lingkar inklusivitas.
"Sebagai individu, tentunya saya harus punya tanggung jawab untuk mempromosikan ini. Di Cisco secara internal dan secara terus-menerus, kami mempromosikan conscious culture dan inklusivitas di mana kita harus mendorong karyawan perempuan untuk terus bisa mengembangkan kariernya," katanya.
Menurutnya, dialog-dialog yang mengedepankan inklusivitas dan keberagaman harus dibuka oleh setiap pemimpin di perusahaan guna mendengarkan kebutuhan aspirasi dari setiap karyawan perempuan.
"Dan tidak hanya dialog, tapi kebijakan (policy) beserta praktik-praktiknya di setiap perusahaan. Di Cisco khususnya, kami terus aplikasikan untuk bisa mendorong tindakan yang inklusif untuk semua. ... Di Cisco kami berkomitmen dari sisi leadership. Kalau dilihat di top leadership Cisco global, 46 persen isinya perempuan. Di ASEAN itu pemimpinnya juga perempuan," ujarnya.
Menurut Marina, tingkat kepercayaan diri perempuan pada dirinya sendiri sangat dibutuhkan untuk menavigasi dari semua persepsi bias, termasuk bias terhadap diri sendiri. Untuk menumbuhkan kepercayaan diri, salah satunya dapat menciptakan sistem pendukung melalui kehadiran sosok panutan (role model), termasuk dari pemimpin perusahaan sendiri.
"Harus ada tingkat kepercayaan diri yang ditumbuhkan secara individu ke perempuan untuk melihat role model sehingga mereka merasa 'Oke, saya bisa'. Di perusahaan hal-hal ini tersebut bisa terjadi," ujarnya.
Dorong partisipasi perempuan di bidang STEM melalui bekal pendidikan
UNESCO Institute for Statistics (UIS) 2014-2016 menyebutkan hanya sekitar 30 persen siswa perempuan yang memilih bidang studi terkait STEM di pendidikan tinggi secara global.
Jika dikerucutkan, teknologi informasi dan komunikasi (TIK) termasuk bidang STEM yang paling rendah diminati sekitar 3 persen siswa perempuan–diikuti ilmu alam, matematika, dan statistik sebesar 5 persen; serta teknik, manufaktur, dan konstruksi sebesar 8 persen.
Menurut Marina, sektor STEM dan variasi pekerjaan bidang ini sebetulnya cukup besar sehingga masih banyak tempat atau kesempatan agar perempuan dapat memainkan peran yang penting. Penyelesaian permasalahan ketimpangan gender dalam STEM, kata Marina, memang harus melibatkan banyak pemangku kepentingan, salah satunya melalui institusi pendidikan.
"Pendidikan jadi roadmap yang harus ditempuh kalau siswa ingin mengejar karier ke depannya. Mereka butuh didampingi, bahkan sejak masih sekolah. Kemudian bias itu mulai harus dipecahkan sejak masih di pendidikan," katanya.
Dengan semakin terakselerasinya dunia digital, Marina menilai banyak cara untuk perempuan mencari dan menemukan sistem pendukung melalui pendidikan untuk meningkatkan kemampuan bidang STEM dengan mata pelajaran yang relevan dengan industri saat ini, termasuk pendidikan non-formal.
Marina mengatakan perusahaan Cisco sendiri, misalnya, memiliki program dan investasi pada bidang edukasi melalui Cisco Networking Academy yang menyediakan kesempatan bagi siswa untuk mengembangkan karier dan keterampilan teknologi informasi (TI) dengan standar internasional.
"Kami menyediakan topik-topik seperti keamanan siber (cyber security), basic networking, programming, dan yang juga trennya sedang bertumbuh adalah Internet of Things (IoT). Kursusnya selalu yang relevan dengan apa yang dibutuhkan industri," ujarnya.
Program tersebut, kata Marina, telah berkembang pesat selama lebih dari 20 tahun dan telah menjangkau lebih dari 15 juta siswa di 180 negara di seluruh dunia. Di Indonesia, Cisco telah melatih 335.053 siswa sejak awal dan 98 persen siswa memperoleh pekerjaan atau kesempatan pendidikan.
Terkait tingkat partisipasi perempuan, setiap tahun lebih dari 600.000 siswa perempuan mengikuti kursus Cisco Networking Academy, mulai dari keamanan siber hingga pemrograman. Menurut perusahaan, 26 persen siswa Cisco Networking Academy secara global merupakan perempuan pada 2020. Khusus di Indonesia, 26 persen siswa Cisco Networking Academy adalah perempuan sejak awal.
Marina berpendapat bahwa masyarakat atau komunitas juga harus mendorong perempuan muda untuk menyadari keterbukaan peluang di bidang STEM, dimulai dari pendidikan dan teknologi yang lebih inklusif.
Ia juga menekankan pentingnya bekerja sama dengan komunitas lain untuk memastikan dan mencari solusi terbaik serta mendorong kebijakan terbaik di tengah tantangan minimnya partisipasi perempuan dalam bidang STEM.
"Saya pikir setiap orang harus bisa diberikan kesempatan yang sama untuk menjadi yang terbaik bagi dirinya sendirinya. Jangan sampai hanya karena masalah bias gender, potensi dan kemampuan orang itu menjadi terbatas," pungkasnya.
Baca juga: Menteri PPPA: Indonesia komitmen setarakan gender di bidang STEM
Baca juga: Sosok panutan penting untuk motivasi perempuan tekuni STEM
Baca juga: ILO tekankan pentingnya keterlibatan perempuan di sains, teknologi
Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2022