Pemerintah Indonesia dapat menggunakan kesempatan dalam memimpin negara-negara Kelompok 20 atau G20 untuk meningkatkan kapasitas energi terbarukan di dalam negeri guna mencapai target nir emisi pada 2060 atau lebih cepat.Indonesia akan mendorong negara-negara maju agar berinvestasi dan mendanai berbagai inovasi untuk pengembangan energi terbarukan,
Manajer Proyek Clean, Affordable, and Secure Energy IESR Agus Praditya Tampubolon mengatakan topik transisi energi yang diusulkan oleh Indonesia memberikan peluang strategis bagi Indonesia untuk membangun percakapan dengan pemimpin negara lain mengenai masa depan energi bersih.
"Dengan Indonesia menetapkan isu (transisi energi) sebagai isu prioritas itu akan melahirkan target dan kebijakan baru, sehingga lebih gampang bagi Indonesia untuk bernegosiasi dengan pemimpin G20 lainnya, katakanlah untuk minta bantuan teknis atau pendanaan," ujarnya dalam sebuah diskusi yang digelar di Jakarta, Kamis.
Agus menyampaikan dengan posisi Indonesia sebagai kepala dalam forum G20 membuat kebijakan yang dirumuskan Indonesia seyogyanya didukung oleh negara-negara G20 lainnya karena itu adalah kebijakan bersama.
Menurutnya, bila mengacu target nir emisi dan kesepakatan untuk meninggalkan batu bara, maka sangat tepat bagi kelompok kerja bidang transisi energi (ETWG) G20 membuat isu prioritas berupa aksesibilitas, teknologi, dan pendanaan.
Pada akhir Maret 2022, Kementerian ESDM telah memulai sidang ETWG dalam forum presidensi G20 di Yogyakarta.
Pembahasan utama tentang akses energi adalah menciptakan energi yang terjangkau, andal, berkelanjutan, dan modern untuk semua negara, terutama terkait elektrifikasi dan memasak bersih.
Sedangkan isu prioritas terkait teknologi akan dibahas tentang upaya peningkatan dan pemanfaatan teknologi untuk pembangunan industri bersih, integrasi energi terbarukan, dan efisiensi energi.
Baca juga: Transisi energi jadi penggerak dalam menciptakan lapangan pekerjaan
Adapun terkait isu pendanaan, Indonesia akan mendorong negara-negara maju agar berinvestasi dan mendanai berbagai inovasi untuk pengembangan energi terbarukan, salah satunya menagih janji negara maju yang akan membantu pendanaan 100 miliar dolar AS untuk menangani perubahan iklim karena janji itu masih belum terealisasi hingga kini.
Selain membahas ketiga isu prioritas tersebut, sidang kelompok kerja bidang transisi energi G20 juga akan berbicara seputar pilar transisi energi serta rencana dan desain utama Road to Bali Communique yang akan dihadiri para menteri untuk mengakselerasi transisi energi dengan hasil keputusan yang akan disahkan pada September 2022.
Terkait isu pendanaan energi terbarukan, Penasihat Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ) Deni Gumilang mengatakan ada banyak pendanaan yang bisa Indonesia coba dari konteks G20 karena negara-negara besar ini banyak menjadi kontributor untuk mobilitas pendanaan.
Menurutnya, Indonesia bisa mencoba pendanaan melalui skema bilateral berupa TA, grants, soft loans, maupun instrumen pendukung finansial lainnya dari lembaga GIZ, USAID, AUSAID, AFD, JICA, DANIDA, dan seterusnya.
Ada pula skema multilateral melalui ADB, WB, UN Agencies, EIB, dan seterusnya. Skema kombinasi sangat riuh di Indonesia saat ini dengan berbagai mekanisme yang mau mendukung transisi energi di dalam negeri.
Lebih lanjut Deni mengungkapkan saat ini mulai bermunculan skema pendanaan regional karena perkembangan geopolitik semisal Asia Tenggara harus lebih berkembang ke arah energi terbarukan. Skema pendanaan ini dapat berupa SEACEF, SEA ETP, dan sebagainya.
Selain itu, Indonesia juga punya skema-skema yang jauh lebih besar seperti dana swasta yang bisa mendukung keberlanjutan.
"Jadi dana publik tidak bisa menggantikan dana swasta, tapi dana publik me-leverage dana swasta, ini yang menjadi bagian paling penting terutama untuk transisi energi," kata Deni.
Baca juga: PLN dan "energi hijau" untuk G20
Pewarta: Sugiharto Purnama
Editor: M Razi Rahman
Copyright © ANTARA 2022