Rumah Demokrasi merekomendasikan dua hal yang dapat dilakukan oleh penyelenggara pemilu untuk memperkuat pengawasan partisipatif dalam pelaksanaan Pemilu 2024.Penyelenggara harus 'apple to apple' atau sebanding dengan peserta dari pandangan masyarakat.
Pimpinan Rumah Demokrasi Ramdansyah, berdasarkan keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Sabtu, mengatakan bahwa rekomendasi tersebut terdiri atas dorongan agar penyelenggara pemilu menjadi populis dan pelibatan platform media sosial, seperti Facebook, WhatsApp, atau Twitter, untuk menjadi bagian pengawasan partisipatif Bawaslu di Pemilu 2024.
"Pertama, untuk efektif melakukan pengawasan daring, penyelenggara pemilu harus populis. Kedua, platform media sosial, seperti Facebook, WhatsApp, atau Twitter, harus menjadi bagian pengawasan partisipatif Bawaslu pada Pemilu 2024," kata Ramdansyah saat menjadi narasumber dalam acara Pengawasan Partisipatif Bawaslu Kota Jakarta Pusat di Jakarta, Jumat (22/4).
Terkait dengan dorongan agar penyelenggara pemilu menjadi populis, Ramdansyah menilai hal tersebut perlu implementasi untuk mengimbangi peserta pemilu yang populis dan agar produk pengawasan penyelenggara lebih mudah diketahui oleh masyarakat.
Menurut dia, apabila penyelenggara pemilu tidak populis, produk pengawasan dari mereka sulit untuk diketahui masyarakat karena pemberitaan dari berbagai media yang ada lebih menyoroti para peserta pemilu sebab dianggap lebih populer.
"Penyelenggara harus apple to apple atau sebanding dengan peserta dari pandangan masyarakat. Kalau tidak sebanding, potensi pengawasan tidak menjadi efektif. Media juga hanya akan tertarik melakukan wawancara para peserta pemilu atau pilkada karena memiliki popularitas yang tinggi," kata Ramdansyah.
Selanjutnya, dia memberikan contoh tentang popularitas peserta pemilu di luar negeri, yakni Presiden Ukraina Vladimir Zelensky, yang awalnya berprofesi sebagai komedian tunggal (stand up comedian).
"Ketika sudah terkenal, dia menjadikan sosok populisnya untuk menjadi presiden. Akhirnya, dia berhasil menjadi Presiden Ukraina. Strategi pengawasannya adalah dengan memunculkan penyelenggara yang sebanding popularitasnya," kata Ramdansyah.
Lalu terkait dengan pelibatan platform media sosial, Ramdansyah memandang langkah tersebut perlu dilakukan oleh Bawaslu RI guna mengatasi atau mencegah kemunculan partisipasi politik personal, seperti clicktivisme, yakni aktivitas di media sosial dengan mendukung isu tertentu demi kepuasan pribadi tetapi berdampak politis lebih luas.
Menurutnya, clicktivisme dapat dibendung kemunculannya melalui peran langsung pihak platform media-media sosial dalam mencegah penyebaran berita terkait dengan pemilu yang belum tentu kebenarannya.
"Kecenderungan ini terjadi pada Pemilu 2019 dengan terbelahnya media sosial melalui sebutan Kadrun dan Cebong. Pandangan atau berita yang sesuai dengan pemikiran atau ideologinya akan diteruskan ke banyak media sosial, padahal belum tentu kebenarannya," kata Ramdansyah.
Meskipun begitu, dia mengimbau agar pengawasan partisipatif secara konvensional tetap dilakukan oleh Bawaslu.
"Pengawasan partisipatif secara konvensional tetap dilakukan. Akan tetapi, wajib merekrut sukarelawan yang mau menyampaikan pesan-pesan pencegahan di media sosial," kata Ramdansyah.
Baca juga: Perludem: Sistem pemilu Indonesia tidak ramah perempuan
Baca juga: Uji materi di MK buka peluang revisi UU kepemiluan
Pewarta: Tri Meilani Ameliya
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2022