"Harmonisasi dokumen informasi terkait COVID-19 atau standar protokol kesehatan sangat penting untuk mempromosikan mobilitas global dan mempercepat pemulihan ekonomi," kata Juru Bicara G20 Kementerian Kesehatan RI Siti Nadia Tarmizi melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Senin.
Siti Nadia Tarmizi menjelaskan bahwa pada saat ini beberapa kemajuan telah dibuat untuk memulihkan perjalanan internasional yang aman dan teratur.
"Pemerintah mulai melonggarkan pembatasan perjalanan sambil menerapkan langkah-langkah mitigasi risiko kesehatan, termasuk penerapan pedoman protokol kesehatan," katanya.
Baca juga: Pembahasan arsitektur kesehatan global libatkan menteri keuangan G20
Dia menjelaskan bahwa harmonisasi dilakukan melalui pendekatan berbasis risiko sambil mempertimbangkan faktor-faktor lain, seperti epidemiologi penyakit dan kapasitas sistem kesehatan.
"Beberapa aspek penting dalam harmonisasi standar protokol kesehatan tersebut, meliputi aspek politik dan hukum, kapasitas dan keterjangkauan negara, masalah etika, teknis, kemampuan beradaptasi dengan situasi yang berubah cepat dan penggunaan teknologi," katanya.
Negara-negara G20, tambah dia, akan diundang untuk berpartisipasi dalam proyek percontohan di Global Public Trust Repository.
"Proyek ini membutuhkan anggota G20 untuk membagikan kunci publik dan akan disimpan dalam platform repositori, sehingga memungkinkan sistem untuk memverifikasi asal usul sertifikat," katanya.
Nantinya, dokumen terkait COVID-19 dari warga di negara G20 akan dikenali melalui kode QR di sertifikat pada saat kedatangan dan keberangkatan dengan tetap melindungi privasi dan keamanan data.
Baca juga: Kemenkes buat edaran agar pemda bersiap hadapi lonjakan BA.4 dan BA.5
Baca juga: Kemenkes lacak subvarian baru Omicron di antara pasien positif
Ia mengatakan bahwa perluasan manufaktur global dan pusat penelitian, pencegahan, kesiapsiagaan serta respons untuk pandemi menjadi salah satu agenda dalam memperkuat arsitektur kesehatan global.
Nadia menyampaikan bahwa hingga pertengahan Februari 2022, di enam wilayah WHO, pandemi telah menyebabkan sekitar 60.000 kematian akibat Omicron BA.2.
"Hal ini menunjukkan bahwa varian baru COVID-19 tetap menjadi ancaman yang signifikan bagi dunia, terutama bagi negara-negara dengan cakupan vaksinasi yang rendah," kata Nadia.
Pewarta: Wuryanti Puspitasari
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2022