Pengamat Pertahanan Anton Aliabbas berpendapat Presiden Joko Widodo ingin menorehkan sejarah bagi bangsa Indonesia dalam upaya mendamaikan konflik antara Ukraina dan Rusia.
"Presiden Jokowi ingin juga menorehkan sejarah sebagai pemimpin bangsa yang ikut andil dalam mendamaikan konflik antarnegara," kata Anton menanggapi kunjungan Presiden Jokowi ke Ukraina dan Rusia di tengah situasi perang, di Jakarta, Jumat.
Baca juga: Pengamat: Kunjungan Presiden ke Ukraina-Rusia bukti diplomasi nyata
Baca juga: Pengamat: Kunjungan Presiden ke Ukraina-Rusia bukti diplomasi nyata
Kepala Center for Intermestic and Diplomatic Engagement (CIDE) ini menyebutkan, pada lima tahun periode awal pemerintahan, Jokowi lebih banyak menghabiskan kepemimpinannya dalam penguatan diplomasi bilateral.
Namun, tersebut dikembangkan pada periode kedua dengan meningkatkan aktivitas pelaksanaan politik luar negeri dalam forum multilateral.
"Dan kunjungan ke Ukraina dan Rusia ini merupakan bentuk nyata dari pelaksanaan amanat pembukaan UUD 1945 yakni ikut serta dalam menjaga perdamaian dunia," ujarnya.
Langkah yang dilakukan Jokowi dengan mendatangi Kyiv dan bertemu Presiden Ukraina Zelensky tidaklah bebas risiko.
Sebab, perang masih berlangsung dan belum ada tanda-tanda akan berhenti. Apalagi, Rusia masih aktif melakukan serangan ke sejumlah tempat.
"Apa yang dilakukan Jokowi mendatangi dua negara bertikai tentu saja merupakan rangkaian dari upaya untuk menengahi konflik tersebut," ujarnya.
Sikap imparsialitas yang ditunjukkan Jokowi dengan aktif menemui dua pemimpin bertikai memang dibutuhkan oleh pihak yang menawari diri sebagai potensial mediator.
"Karena dengan begitu, ide-ide awal yang diungkapkan para pemimpin bertikai dapat diolah untuk menjadi tawaran agenda perundingan perdamaian," kata Anton.
Baca juga: Jokowi: Kepentingan RI agar perang selesai dan pasokan pangan membaik
Baca juga: Jokowi: Kepentingan RI agar perang selesai dan pasokan pangan membaik
Sekalipun secara kekuatan politik relatif, Indonesia masih kalah dari Rusia, akan tetapi Indonesia tetap mempunyai peluang untuk menjadi mediator.
"Dan salah satu titik kuncinya adalah penerimaan dari dua pihak yang bertikai. Dan sikap pemimpin Ukraina dan Rusia yang menerima kunjungan Jokowi merupakan signal awal penerimaan Indonesia sebagai potensial mediator," katanya.
Meski misi perdamaian Jokowi sudah selesai, namun menurut Anton, sebenarnya saat ini bukan momentum yang tepat untuk mendorong adanya perundingan damai.
Hal itu dikarenakan, Rusia dan Ukraina belum berada pada posisi "hurting stalemate" atau titik lelah eskalasi konflik bersenjata.
"Di sisi lain, 'ripe moment' atau masa yang 'matang' untuk memaksa kedua belah pihak duduk di meja perundingan juga belum terbentuk," katanya.
Meski demikian, peluang untuk terjadinya perundingan damai tetap dapat terjadi. Salah satunya adalah melalui pendekatan yang intensif kepada para pihak bertikai untuk mau duduk berunding.
"Jokowi punya kans untuk memainkan peranan itu. Tinggal sejauh mana kesiapan dan keseriusan Indonesia untuk menawarkan diri sebagai mediator perundingan damai," ucapnya.
Dalam kesempatan itu, Anton juga berpendapat misi yang dibawa Presiden Jokowi itu sebenarnya tak lepas dari agenda Presidensi G-20 yang akan digelar di Bali pada November 2022 mendatang.
Di mana sebagai pemegang Presidensi G-20, ancaman "walkout" negara lain atau ketidakhadiran Rusia saat gelaran G-20 dapat berpengaruh terhadap kredibilitas Indonesia maupun keputusan yang akan dihasilkan.
"Jadi kunjungan (misi perdamaian) ini juga tidak bisa dilepaskan dari upaya melancarkan perhelatan G-20," katanya.
Baca juga: NasDem puji keberanian Presiden Jokowi kunjungi Ukraina dan Rusia
Baca juga: Tokoh agama dan relawan doakan misi Jokowi ke Eropa dan Timur Tengah
Baca juga: Putin sampaikan perkembangan terkait Ukraina kepada Jokowi
Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: Nurul Hayat
Copyright © ANTARA 2022