Saham-saham Asia turun untuk sesi keenam berturut-turut pada perdagangan Selasa pagi, setelah lonjakan baru harga energi Eropa memicu kekhawatiran resesi dan mendorong imbal hasil obligasi lebih tinggi, sementara mengarahkan euro ke posisi terendah 20 tahun.Situasi energi Eropa yang mengerikan menunjukkan puncak inflasi belum ada di sini dan risiko tetap bahwa inflasi tinggi akan bertahan lebih lama tanpa tindakan bank sentral yang agresif lebih lanjut
Harga gas acuan di Uni Eropa melonjak 13 persen semalam ke rekor puncak, setelah naik dua kali lipat hanya dalam sebulan menjadi 14 kali lebih tinggi dari rata-rata dekade terakhir.
Analis di Citi memperingatkan inflasi di Inggris bisa mencapai 18 persen jika harga energi tidak terkendali.
Survei manufaktur Eropa dan Inggris yang dijadwalkan pada Selasa diperkirakan akan menyoroti kerusakan yang terjadi pada aktivitas, dengan Jerman terlihat lebih dalam di wilayah kontraksi.
"Situasi energi Eropa yang mengerikan menunjukkan puncak inflasi belum ada di sini dan risiko tetap bahwa inflasi tinggi akan bertahan lebih lama tanpa tindakan bank sentral yang agresif lebih lanjut," kata Tapas Strickland, direktur ekonomi di NAB.
"Tidak mengherankan jika melihat dolar AS mendekati level tertinggi multi-dekade terhadap penurunan euro dan pound sterling."
Mata uang tunggal berjuang di 0,9937 dolar, setelah turun 1,0 persen ke level terendah 20 tahun di 0,99265 dolar. Terobosan terendah Juli di 0,9952 dolar dianggap sebagai tanda bearish untuk dorongan lebih rendah lebih lanjut, dengan sedikit dukungan grafik yang tersisa.
Sterling turun di 1,1766 dolar, setelah menyelam sedalam 1,1743 dolar dan level terakhir terlihat pada Maret 2020 pada awal pandemi. Itu mendorong indeks dolar naik ke 108,870 dan mendekati puncak Juli.
Di Asia, kegelisahan atas ekonomi China terus meluas karena penurunan suku bunga pinjaman dan pembicaraan tentang putaran baru pinjaman resmi kepada pengembang properti menggarisbawahi tekanan di sektor ini.
"Akan cukup buruk untuk ekuitas China jika perjuangan ekonomi terbatas pada sektor properti," kata Oliver Allen, ekonom pasar di Capital Economics.
“Tetapi pertumbuhan di sektor jasa tampaknya tidak mungkin meningkat selama kebijakan nol-COVID China tetap berlaku; ledakan ekspor terkait pandemi akan segera berakhir; dan kekurangan listrik karena kekeringan di beberapa bagian negara tampaknya akan membuat industri pincang dalam waktu dekat."
Saham-saham unggulan China turun 0,2 persen setelah hanya menerima sedikit peningkatan dari pelonggaran kebijakan terbaru.
Indeks MSCI dari saham Asia Pasifik di luar Jepang melemah 0,4 persen, dan telah jatuh setiap hari dalam seminggu terakhir.
Nikkei jatuh 1,2 persen setelah survei PMI menunjukkan aktivitas pabrik di Jepang melambat ke level terendah 19-bulan pada Agustus di tengah kenaikan terus-menerus dalam biaya bahan baku dan energi.
EUROSTOXX 50 berjangka dan FTSE berjangka keduanya turun sedikit setelah meluncur semalam.
S&P 500 berjangka dan Nasdaq berjangka keduanya naik tipis 0,1 persen, tetapi itu mengikuti penurunan tajam pada Senin (22/8) ketika kenaikan imbal hasil obligasi merusak saham teknologi.
Imbal hasil acuan obligasi pemerintah AS 10-tahun mencapai tertinggi lima minggu di 3,040 persen pada Senin (22/8), sementara imbal hasil 30-tahun naik ke puncak tujuh minggu di 3,268 persen.
Imbal hasil obligasi 10-tahun terakhir diperdagangkan pada 3,029 persen naik 50 basis poin dari posisi terendah awal Agustus.
Langkah tersebut sebagian mencerminkan komentar hawkish dari pejabat Federal Reserve yang telah menyebabkan pasar memperkirakan peluang 55 persen untuk kenaikan 75 basis poin menjadi 3,0-3,25 persen pada September, dan puncak untuk suku bunga sekitar 3,75 persen.
Kenaikan dolar dan imbal hasil telah menjadi hambatan bagi emas, yang melayang di 1.740 dolar AS per ounce setelah mencapai level terendah tiga minggu semalam.
Pewarta: Apep Suhendar
Editor: Ahmad Buchori
Copyright © ANTARA 2022