Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) menilai pelibatan publik masih minim dalam RUU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas perubahan 2022 ke Baleg DPR.
Pertama, P2G menilai RUU Sisdiknas masih minim dalam melibatkan pemangku pendidikan.
"Uji publik yang pernah dilakukan Februari 2022 lalu terkesan formalitas saja, sebab organisasi yang diundang hanya diberi waktu lima menit menyampaikan komentar dan masukan. Aspek partisipasi publik masih rendah,” ujar Dewan Pakar P2G, Rakhmat Hidayat, dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Sabtu.
Kemudian dari segi proses perancangan UU, RUU Sisdiknas dirasa jauh dari partisipatif, belum menyerap aspirasi publik seutuhnya. Adapun uji publik oleh Kemendikbudristek terkesan pelengkap syarat formal saja.
Baca juga: Pemerintah ajukan RUU Sisdiknas dalam Prolegnas Prioritas 2022
Baca juga: IKA UPI dorong guru tingkatkan kualitas melalui pelatihan
“Kami pun belum mendapatkan penjelasan atau jawaban dari Kemendikbudristek atas pendapat yang telah kami berikan (right to be explained)," kata dia.
Semestinya Kemendikbudristek memahami Keputusan Mahkamah Konstitusi Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020, dalam putusannya menekankan bahwa partisipasi publik yang dilakukan dalam pembentukan undang-undang adalah partisipasi yang bermakna (meaningful participation).
Partisipasi yang bermakna memiliki tiga prasyarat. Pertama, hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard). Kedua, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered). Ketiga, hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang telah diberikan (right to be explained).
Rakhmat melanjutkan, P2G mengingatkan dan berharap kepada Kemendikbudristek dan Baleg DPR agar memenuhi "Asas Keterbukaan" yaitu dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka.
P2G juga menilai RUU Sisdiknas bersifat Omnibus Law. RUU Sisdiknas akan menggantikan tiga UU sekaligus yaitu UU Guru dan Dosen, UU Sisdiknas, dan UU Pendidikan Tinggi.
Dalam catatan P2G, lebih dari 10 UU yang relevan berkaitan langsung maupun tak langsung dengan sistem pendidikan nasional. Seperti UU Pondok Pesantren, UU Pendidikan Kedokteran, UU Pendidikan dan Layanan Psikologi, bahkan UU Pemerintah Daerah.
Dalam konsideran RUU Sisdiknas poin "menimbang" huruf c dan d, dijelaskan bahwa, "Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional." Hal itu membuktikan Kemendikbudistek ingin membentuk satu sistem pendidikan nasional melalui satu UU bersifat omnibus.
"Jika Kemendikbudristek ingin membentuk satu sistem pendidikan nasional, kenapa hanya memasukkan tiga UU pendidikan saja dalam RUU Sisdiknas, padahal masih banyak lagi UU pendidikan seperti UU Pesantren, UU Pendidikan Kedokteran. Apakah Pesantren bukan bagian dari satu sistem pendidikan nasional? Ini namanya omnibus law setengah hati,” kata Koordinator Nasional P2G, Satriwan Salim.
Satriwan juga menambahkan P2G khawatir pembahasan RUU Sisdiknas akan bernasib sama dengan UU IKN dan UU Ciptakerja. Pemerintah dan DPR terbukti mengebut pembahasan sampai pengesahannya. Sehingga banyak dikritik oleh komunitas sipil karena tidak partisipatif. Padahal prasyarat partisipasi publik yang bermakna adalah mutlak berdasarkan putusan MK tahun 2020.
"Kami khawatir, pembahasan RUU Sisdiknas dipaksakan, pembahasannya dikebut untuk cepat disahkan. RUU Sisdiknas akan menjadi RUU Roro Jongrang istilahnya, sistem kebut semalam langsung jadi, begitu kira-kira analoginya," ujar Satriwan.
P2G berharap kepada pemerintah dan DPR jangan terburu-buru membahas RUU Sisdiknas karena dikhawatirkan tidak tidak akan berkualitas hasilnya dengan sistem kerja yang terlalu cepat.*
Baca juga: Pengamat sebut wajar Presiden Jokowi belum tahu tentang RUU Sisdiknas
Baca juga: Pimpinan MPR sebut RUU Sisdiknas harus mampu tingkatkan kualitas SDM
Pewarta: Indriani
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2022