"Hati-hati risiko menderita COVID-19 dengan XBB ini lebih tinggi dibandingkan orang yang pernah kena COVID-19. Jadi yang diserang justru orang yang tidak pernah kena COVID-19," kata Ketua Satgas COVID-19 PB IDI Erlina Burhan dalam Media Briefing terkait update kasus COVID-19 yang diikuti dalam jaringan Zoom di Jakarta, Kamis.
Ia mengatakan, XBB kali pertama ditemukan di India pada Agustus 2022 dan XBC di Inggris merupakan varian keturunan dari mutasi Delta serta Omicron BA.2 dan BA.2.75 imbas dari sirkulasi virus di tengah masyarakat yang tak mampu ditanggulangi.
Baca juga: PB IDI: Antisipasi varian baru COVID-19 dengan patuh prokes
"Contohnya Omicron pada November 2021. Di beberapa negara tidak bisa diturunkan sirkulasinya, maka terjadilah mutasi baru yang dikenal XBB dan yang baru lagi XBC," katanya.
Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, sejak 17 Oktober 2022, XBB sudah dilaporkan ada di 26 negara, seperti Australia, Bangladesh, Denmark, India, Jepang, dan Amerika Serikat.
Menurut observasi dari negara yang sudah terdapat XBB, penularan XBB dianggap sama dengan varian lain yang ada. XBB merupakan subvarian yang predominan di Singapura mencapai hingga 54 persen kasus pada pekan kedua Oktober 2022, sementara pada pekan sebelumnya hanya 22 persen.
Negara yang sudah melaporkan adanya XBC adalah Inggris. Selain itu juga di Filipina mencapai 193 kasus subvarian XBC. "Begitu cepat penularannya," kata dia.
Baca juga: Dokter sebut COVID-19 subvarian Omicron XBB mampu kelabui antibodi
"Varian ini sedang menyebar di negara tetangga Indonesia, yakni Filipina. Kita tahu waktu XBB menyebar di Singapura pada Maret 2022 dan warga Indonesia banyak bepergian ke Singapura, maka pada awal Oktober ditemukan kasus XBB di Indonesia," kata Erlina menambahkan.
Hingga saat ini, menurut dia, gejala XBB dan XBC mirip gejala COVID-19 secara umum, seperti demam, batuk, lemas, sesak, nyeri kepala, nyeri tenggorokan, pilek, mual dan muntah, dan diare.
"Meskipun belum ada laporan bukti ilmiah resmi, mengingat XBC merupakan kombinasi varian Delta, gejala anosmia dan ageusia yang merupakan gejala khas varian delta mungkin dapat terjadi," katanya.
Erlina yang juga seorang dokter spesialis penyakit paru-paru di RSUP Persahabatan Jakarta Timur mengatakan upaya pencegahan mutasi virus corona hanya bisa dilakukan dengan cara mencegah penularan pada manusia.
Baca juga: Dokter: Subvarian XBB punya kekhasan cepat menyebar tapi gejala ringan
"Upaya itu bisa dilakukan dengan menyegerakan diri mengakses layanan vaksinasi dosis penguat atau booster serta patuh pada protokol kesehatan memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak (3M)," katanya.
Pewarta: Andi Firdaus
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2022