Bertepatan dengan 40 hari Tragedi Kanjuruhan, masyarakat Malang Raya, khususnya Aremania, tak terkecuali kalangan perguruan tinggi di Kota Pendidikan itu, terus bergerak menyuarakan tuntutan keadilan bagi 135 korban meninggal pada peristiwa yang memakan korban jiwa yang tidak sedikit tersebut.
Dalam persepakbolaan di Tanah Air, sepanjang sejarah, tak pernah ada korban yang begitu banyak, bahkan ketika ada kerusuhan antar-suporter sekali pun. Tragedi Kanjuruhan, hanya ada penonton (Aremania) dan petugas keamanan, namun korban jiwa berjatuhan, mencapai 135 jiwa, belum termasuk yang mengalami luka berat dan masih dalam perawatan dan luka ringan.
Semua lini massa bergerak, berjuang untuk memperjuangkan keadilan bagi seluruh korban Tragedi Kanjuruhan. Hari ini, Kamis (10/11), bertepatan dengan 40 hari peristiwa naas itu, dan bertepatan juga dengan Hari Pahlawan, ribuan massa menggelar aksi damai dengan long march mulai dari Stadion Gajayana Kota Malang.
Ribuan Aremania dari Malang Raya, luar daerah Malang Raya dan ribuan suporter Indonesia dari berbagai daerah, bersatu padu dalam satu rampak barisan teatrikal dan kreativitas khas suporter Indonesia.
Di tengah hiruk pikuk gelombang manusia yang menyuarakan keadilan bagi korban Tragedi Kanjuruhan, puluhan bendera berkibar setengah tiang hanya bisa terpaku, membisu di keheningan kampus Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), yang mahasiswanya juga menjadi korban meninggal dunia pada 1 Oktober 2022.
Kampus putih itu tetap teguh, tak bergeming untuk mengenang, menghargai dan terus berduka hingga hari ke-40 meninggalnya 135 jiwa korban Tragedi Kanjuruhan. Mereka tetap mengibarkan bendera setengah tiang mulai dari pintu gerbang utama hingga di sudut-sudut kampus.
Bendera yang berkibar setengah tiang tersebut, awalnya hanya di pintu gerbang utama, belasan di helipad, di depan Masjid AR Fachruddin, namun menjelang 40 hari Tragedi Kanjuruhan, jumlah bendera setengah tiang yang terpasang semakin banyak, bahkan menutup tulisan Universitas Muhammadiyah Malang di helipad.
"Bendera setengah tiang kita pasang sejak hari pertama (Minggu, 2/10) dan hari ini hari terakhir atau sampai 40 hari," kata Wakil Rektor II UMM, Dr Nazarrudin Malik.
Tak hanya bendera setengah tiang, seluruh sivitas akademika, mulai dari mahasiswa, dosen dan semua komponen yang melekat dengan UMM memakai pita hitam sebagai penanda duka mendalam atas meninggalnya 135 orang penonton, dan dua orang korban diantaranya mahasiswa kampus UMM, kata staf Humas UMM, Krisna.
Bacakan doa
Gaung peringatan 40 hari Tragedi Kanjuruhan mulai terasa beberapa hari sebelum hari H. Banyak komunitas dan Aremania berbaur menuntut keadilan dan tanggung jawab yang seharusnya bertanggung jawab atas peristiwa tersebut.
Aremania dan para pejuang keadilan untuk Tragedi Kanjuruhan terus menyuarakan keresahannya dengan mendatangi Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Malang, Kabupaten Malang, Kota Batu, dengan aksi damai yang muara tuntutannya agar semua yang terlibat diadili dengan seadil-adilnya.
Tuntutan Aremania, pertama, meminta kejaksaan bersikap adil dan transparan dalam menangani tragedi Kanjuruhan. Kedua, meminta Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk mengawasi jajarannya yang menangani Tragedi Kanjuruhan agar segala bentuk tekanan, rayuan, dan intimidasi bisa dihindari. Sehingga, penanganan kasusnya benar-benar berjalan adil.
Tuntutan ketiga, mereka meminta Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Timur, untuk menolak dan mengembalikan berkas perkara yang disampaikan penyidik Polda Jatim, karena dinilai belum lengkap. Indikasinya, belum adanya tersangka penembak gas air mata dan dalang utama penyebab jatuhnya banyak korban.
Tuntutan keempat, meminta kejaksaan untuk mengenakan pasal 338 dan 340 KUHP tentang pembunuhan. Dan kelima, meminta kejaksaan agar menangkap dan mengadili seluruh pihak yang secara langsung maupun tak langsung terlibat dalam Tragedi Kanjuruhan.
Usai menyuarakan tuntutannya dengan berkeliling (roadshow) ke Kejari, Aremania dan berbagai komunitas menggelar doa bersama dan pembacaan Surat Yasin dan Tahlil untuk seluruh korban Tragedi Kanjuruhan yang digelar di beberapa titik, termasuk di Stadion Kanjuruhan.
Persepakbolaan "berdarah" Tanah Air yang menjadikan Tragedi Kanjuruhan tidak hanya memantik perhatian dan sorotan persepakbolaan dunia, namun semua lini, semua komunitas, lembaga maupun perorangan, merasa prihatin. Bagaimana nasib anak-anak yang ditinggalkan orang tuanya, bagaimana orang tua yang ditinggalkan orang-orang yang mereka cintai. Siapa yang bertanggung jawab?
Tragedi Kanjuruhan hendaklah dijadikan koreksi diri dan mawas diri. Apalagi, sebagai bangsa besar, seharusnya peristiwa semacam ini tidak boleh terjadi di Indonesia. Bahkan, tragedi tersebut tidak akan pernah ditoleransi, karena menunjukkan tingkat peradaban kemanusiaan bangsa Indonesia.
Semua berduka di Hari Pahlawan tahun ini, karena hilangnya nyawa ratusan Aremania. Maka tragedi ini harus diusut tuntas hingga menemukan titik terang dan dijadikan sebagai pelajaran untuk berbenah bagi seluruh elemen bangsa.
Mereka yang menjadi korban Tragedi Stadion Kanjuruhan Malang sangat layak untuk dikenang, dihargai dan dihormati sebagai Para Pahlawan Tribun Sepak Bola Indonesia. Semoga tidak ada lagi kejadian yang menghilangkan nyawa manusia dan mencederai persepakbolaan di Tanah Air maupun dunia.
Pewarta: Endang Sukarelawati
Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2022