“Ada dua pencegahan. Pencegahan primernya dengan vaksinasi, pencegahan sekundernya itu dengan skrining deteksi dini. Deteksi dini bisa dengan pap smear atau bisa juga dengan pemeriksaan IVA,” kata Junita dalam webinar “HUT 103 RSCM” yang diikuti di Jakarta, Jumat.
Dia mengatakan seseorang yang sudah melakukan vaksinasi HPV bukan berarti tidak memerlukan skrining berupa pemeriksaan pap smear, inspeksi visual asetat (IVA), maupun DNA HPV. Skrining tetap dibutuhkan bahkan pada perempuan yang sudah vaksinasi untuk memastikan dirinya tidak terinfeksi virus HPV jenis lain yang belum tersedia dalam vaksin.
Junita menjelaskan vaksin HPV yang ada saat ini yaitu vaksin HPV bivalen yang bisa mencegah infeksi virus HPV tipe 16 dan 18 serta vaksin HPV kuadrivalen untuk mencegah infeksi HPV tipe 6, 11, 16, dan 18. Dia mengatakan bahwa virus HPV yang agresif memang berupa tipe 16 dan 18, meski begitu bukan berarti tipe lainnya tidak berisiko.
Baca juga: Kemenkes: Vaksin HPV resiliensi cegah kanker serviks sejak dini
“Ada 16 sisanya yang high risk yang tidak ada di dalam vaksin itu. Artinya apa? Jadi untuk 16 dan 18 saja dia bisa melindungi kan ada cross protection dari yang tipe 31 dan 45, itu sampai 85 persen terlindungi. Ada 15 persennya dari 14 tipe lainnya yang belum ada divaksin. Jadi ada mungkin terpapar 15 persen kalau misalnya nanti tidak pap smear, nah itu kan bisa jadi kanker serviks,” kata Junita.
Dia menjelaskan vaksinasi HPV dapat dilakukan mulai dari usia anak berumur 9 tahun. Anak berusia 9-13 tahun hanya memerlukan dua kali suntikan dengan jarak dari suntikan pertama sekitar 6-12 bulan. Sementara anak atau perempuan di atas 14 tahun memerlukan tiga kali vaksinasi dengan jarak antarsuntikan bergantung pada jenis vaksin yang digunakan.
Anak-anak dan perempuan yang belum kontak seksual dianjurkan untuk dilakukan vaksinasi terlebih dahulu dan tidak perlu melakukan tes skrining. Namun bagi perempuan yang belum vaksinasi dan sudah melakukan kontak seksual, disarankan untuk dilakukan skrining terlebih dahulu saat tiga tahun setelah kontak seksual.
Baca juga: Deteksi dini kanker serviks penting karena infeksi rahim tak bergejala
“Untuk yang belum menikah atau belum kontak seksual, tidak perlu di-pap smear. Vaksin langsung, apalagi anak-anak. Tapi kalau untuk yang sudah menikah, tujuannya apa sih kalau di-pap smear dulu? Tujuannya untuk tahu saat itu kondisi serviksnya bagaimana (apakah sudah ada kanker atau belum),” kata Junita.
Dia juga mengingatkan bahwa pemeriksaan IVA maupun pap smear seharusnya dilakukan secara berulang selang tiga tahun sekali sampai usia 65 tahun dan tidak berhenti pada usia menopause.
Namun apabila pernah ditemukan hasil yang tidak normal pada pemeriksaan IVA atau pap smear dalam tiga tahun terakhir sebelum usia 65 tahun, maka pemeriksaan tersebut dapat dilanjutkan sampai 70 tahun.
Baca juga: Jangan takut deteksi dini kanker serviks, pap smear tidak menyakitkan
“Jadi jangan berhenti di usia menopause. Kebanyakan wanita tidak mengeri, ‘Saya sudah menopause saya tidak perlu (skrining)’. Padahal justru di usia-usia itu, di umur-umur 50-an atau 45-55 tahun itu puncak dari kanker serviks. Jadi di situ lebih dilihat, harus tetap dilakukan sampai umur 65 tahun,” kata Junita.
Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2022