Dokter Spesialis Paru RSUD Cilincing Jakarta Agung Prasetyo mengingatkan para orang tua untuk mewaspadai gejala pneumonia jika frekuensi nafas bayi usia 1-5 tahun lebih dari 40 kali per menit.
“Bayi 1-2 bulan kalau frekuensi nafasnya lebih dari 60 kali per menit itu kita curigai ada pneumonia. Usia 2-12 bulan frekuensi nafasnya di atas 50 kali per menit dan usia di atas 12 bulan hingga kurang dari 5 tahun frekuensinya lebih dari 40 kali per menit kita curiga ada pneumonia,” kata Agung Prasetyo dalam Talkshow Kesehatan Dinas Kesehatan DKI Jakarta yang disiarkan secara daring, Kamis.
Baca juga: Kemenkes: Pneumonia masih jadi pembunuh pertama pada anak
Agung menyampaikan keluhan yang sering timbul pada pasien pneumonia adalah gangguan respirasi yang bisa dalam bentuk batuk atau nyeri di salah satu bagian tertentu di dada. Batuknya juga beragam, mulai dari batuk berdahak dengan dahak kental berwarna hijau, kuning hingga bening atau dahak yang berbau. Kemudian demam dan perubahan pada cara bernafas dan frekuensi nafas yang meningkat.
“Kemudian, gerakan nafasnya tidak sinkron, saat tarik nafas malah ada tarikan bidang dada ke dalam, sehingga nafasnya tidak sinkron dan itu kita harus curiga sebagai orang tua,” ucapnya.
Sedangkan gejala pneumonia pada orang lanjut usia sering kali tidak khas, karena adanya perbedaan sistem imun, sehingga fungsi saluran nafas dalam merespons batuk tidak terlalu baik. Kendati demikian, jika terjadi perbedaan cara bernafas pada orang tua lanjut usia, harus segera diperiksakan ke fasilitas layanan kesehatan terdekat sebagai upaya mencegah terjadinya pneumonia.
Lebih lanjut, Agung menyampaikan bahwa pneumonia merupakan penyakit akibat infeksi dengan angka kematian paling tinggi nomor satu di kalangan orang tua, dewasa maupun anak.
Pada orang tua dan dewasa, paparan asap rokok dan asap kendaraan bermotor menjadi salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya pneumonia, karena asap tersebut dapat mengganggu fungsi dari silia. Silia bertugas untuk mengeluarkan dahak atau kotoran yang terhirup oleh hidung dan dikeluarkan dengan refleks batuk, sehingga tidak tertelan ke dalam paru-paru.
“Fungsi itu rusak, menjadi rentan sekali debu dan asap mengakibatkan kolonisasi dari bakteri, sehingga makin banyak dan terjadi pneumonia,” tuturnya.
Selain itu, penyakit lain yang diderita seperti diabetes melitus, penyakit auto imun seperti lupus dan penderita HIV juga meningkatkan peluang terjadinya pneumonia.
Baca juga: Asap rokok picu Pneumonia pada balita
Baca juga: IDAI: ASI eksklusif enam bulan cegah pneumonia
Adapun pengobatan untuk penderita pneumonia bisa dilakukan melalui rawat inap dan rawat jalan. Bagi pasien rawat inap, dokter akan melakukan pemeriksaan dahak untuk menentukan penyebab pneumonia berasal dari kuman, virus atau bakteri, lalu memberikan obat sesuai pemeriksaan hasil kultur dahak dan disertai obat-obatan untuk meningkatkan daya tahan tubuh.
Sedangkan untuk pneumonia ringan bisa diobati dengan rawat jalan. Begitu diagnosisnya telah ditegakkan, dokter akan memberikan antibiotik sesuai indikasi dan memberikan obat simtomatik dan obat penguat imun.
“Jika ada permasalahan di saluran nafas seperti dahak susah dikeluarkan, kita beri pengencer dahak dan obat-obat pendukung yang juga didukung oleh perilaku hidup bersih dan sehat, menggunakan masker, mengurangi interaksi dan nutrisi yang seimbang,” ujar dia.
Pewarta: Kuntum Khaira Riswan
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2022