Keinginan untuk mendampingi UMKM lain bukan tanpa alasan. Pendiri Precious One, Ratnawati, bercerita produk yang mereka buat pernah ditolak untuk dijual di toserba ternama di Jakarta hanya karena produk tersebut dibuat oleh orang-orang yang cacat. Dari pengalaman tersebut, Ratna pun berprinsip agar produk yang dihasilkan para penyandang disabilitas dapat memiliki nilai dan berkualitas.
“Kenapa kami mentoring UMKM? Waktu itu kami pernah ditolak sama departmen store ternama di Jakarta hanya karena produk kami yang bikin orang cacat. Itu menyakitkan. Aku sampai nangis waktu itu. Ditelpon ditolak,” kata Ratna saat dijumpai ANTARA di Jakarta, Kamis (15/12).
Kadang kala, masih ada masyarakat yang membeli produk itu hanya berlandaskan rasa kasihan. Menurut Ratna, anggapan tersebut akan membuat UMKM disabilitas tidak berkembang. Maka, dia juga berusaha untuk menghilangkan citra produk buatan disabilitas yang kerap dianggap buruk melalui program pendampingan.
“Ketika saya berkoar-koar di luar, ‘Ayo bangga karya disabilitas’, di sisi lain banyak orang mungkin menemukan di luar sana produk-produk disabilitas yang nggak berkualitas. Akhirnya kami tidak berdiam diri. Akhirnya mulai dari satu orang kami dampingi,” imbuh dia.
Seiring berjalannya waktu, pihak Permata Bank turut menggandeng Precious One untuk mengembangkan program pendampingan UMKM disabilitas. Hingga kini, terdapat lebih dari 100 UMKM disabilitas dari berbagai daerah yang mendapat pendampingan dari Precious One sejak program itu diluncurkan tahun lalu.
Tantangan terberat dalam pendampingan, menurut Rata, yaitu mengubah pola pikir penyandang disabilitas agar mau sama-sama berubah untuk mengembangkan usaha mereka menjadi lebih baik atau naik kelas.
Mereka juga masih banyak yang belum menyadari bahwa bentuk bantuan dalam pendampingan UMKM bukanlah melulu soal modal, tetapi juga pengetahuan dan hubungan baik dengan konsumen.
Dia bercerita dirinya pernah memesan produk karena sudah cocok dengan salah satu UMKM yang didampingi. Namun rupanya, produksi terhambat hingga enam bulan dan tidak ada kabar lebih lanjut. Ratna cukup menyayangkan hal tersebut. Namun, di sisi lain dia juga menyadari bahwa tidak mudah untuk mendampingi mereka.
“Kadang kala mereka tidak menyadari bahwa usaha itu nggak selalu dengan uang, lho. Ilmu itu adalah modal. Hubungan baik itu adalah modal,” kata Ratna.
Pendampingan secara formal dilakukan selama dua bulan. Akan tetapi, pihaknya berkomitmen agar pendampingan tidak berhenti sampai di titik tersebut. Precious One ingin terus mendampingi penyandang disabilitas, termasuk ketika mereka menemukan kendala dalam usaha di kemudian hari.
“Kami punya komitmen begini. Setelah selesai program ini, kami tidak mau tinggalin mereka sendirian. Jadi kami ingin menemani mereka terus. Kami komitmen, mereka ada kendala apa, kami bersedia bantu. Bantuan itu tidak selalu uang, kadang kala mereka butuh tempat curhat,” ujar Ratna.
Selama program pendampingan, para penyandang disabilitas diberikan materi-materi untuk pengembangan usaha, mulai dari yang bersifat umum dan mendasar seperti cara mengelola keuangan dan cara menciptakan citra suatu produk (branding), hingga yang bersifat spesifik sesuai dengan jenis usaha.
Produk-produk UMKM yang didampingi Precious One beragam rupa, mulai dari kuliner, kriya, hingga jasa seperti jasa pijat, jasa sablon, dan toko kelontong. Jenis usaha yang paling mendominasi adalah kuliner dan kriya.
Pada jenis usaha kriya, Precious One juga berperan sebagai pendamping secara langsung karena yayasan berpengalaman di bidang tersebut. Namun untuk jenis usaha lain, Precious One turut menggandeng profesional lainnya sesuai dengan bidang masing-masing salah satunya bekerja sama dengan alumni MasterChef musim kedua Desi Trisnawati.
Untuk proses distribusi, Precious One juga tetap mendampingi dan membantu penyandang disabilitas mengingat mayoritas usaha yang dijalankan merupakan usaha rumahan dengan produksi yang dikerjakan dengan tangan sendiri. Di sisi lain, mereka juga diperbolehkan untuk menjual dan mendistribusukan produk secara mandiri, terutama melalui e-commerce agar dapat dijangkau dari berbagai daerah.
“Desember ini, orderan ke kami bisa 500 lebih, lho, (untuk produk sabun). Bayangkan, teman netra handmade produknya, tapi di akhir tahun ini kami bisa kasih orderan sama dia 500 sabun. Itu salah satu dampak, ya, ketika dia mau naik kelas, dia mau berubah,” kata dia.
Memahami kehidupan teman disabilitas
Di Precious One sendiri, selain pendampingan UMKM disabilitas, yayasan juga mengupayakan berbagai kegiatan dan program lainnya dua di antaranya seperti bertindak menjadi konsultan bagi perusahaan yang ingin merekrut karyawan disabilitas dan mengedukasi masyarakat non-disabilitas untuk bisa memahami kehidupan teman disabilitas.
Untuk memasuki gerbang pemahaman atas kehidupan disabilitas, salah satu cara yang dapat dilakukan yaitu mempelajari bahasa isyarat dan mengenali budaya setiap disabilitas. Ratna sendiri mengaku dirinya pernah mempelajari bahasa isyarat untuk berkomunikasi dengan penyandang tuli sebelum dia secara resmi mendirikan Precious One pada 18 tahun lalu.
Pada kesempatan yang sama, aktivis tuli sekaligus tutor parakerja, Muhammad Andika Panji, mengatakan masyarakat non-disabilitas yang ingin mempelajari bahasa isyarat alangkah lebih baik dapat belajar langsung dengan komunitas tuli dan bukan dengan orang dengan pendengaran normal guna menghindari kesalahpahaman.
Oleh sebab itu, melalui acara “Year-End Media Gathering: Day of Mindfulness and Inclusivity” pada Kamis (15/12), Panji pun turut memberikan edukasi kepada peserta non-disabilitas bersama Precious One dan mendorong peserta untuk mempraktikkan dasar-dasar dalam Bahasa Isyarat Indonesia (Bisindo).
“Kenapa, sih, kalau belajar harus belajar sama teman-teman tuli langsung? Karena itu termasuk ke dalam budaya tuli, dan bahasa ibunya dari teman tuli,” kata Panji melalui penerjemah bahasa isyarat.
Sebagai bentuk pemahaman, disabilitas memiliki ragam mulai dari fisik, intelektual, mental, hingga sensorik. Masing-masing ragam itu pun juga terdapat variasi-variasi lain. Panji mencontohkan bahwa disabilitas tuli memiliki variasi, beberapa orang ada yang tuli total, tuli separuh, tuli yang menggunakan implan, serta tuli yang bisa berbicara secara verbal.
Khusus untuk disabilitas tuli, Panji juga mengingatkan bahwa komunitas tuli lebih nyaman ketika masyarakat umum dapat menyebut mereka sebagai ‘tuli’ alih-alih ‘tuna rungu’. Dia menjelaskan bahwa kata ‘tuli’ menunjukkan identitas dan budaya bagi komunitas, sementara kata ‘tuna rungu’ merupakan istilah dari perspektif medis.
“Kami berharap masyarakat bisa menghormati, mengakui, dan melindungi teman-teman disabilitas termasuk juga teman tuli,” ujar Panji.
Sementara itu, Ratna memandang masyarakat di masa sekarang sebetulnya sudah jauh lebih baik untuk dapat menerima keberadaan penyandang disabilitas. Meski begitu, dia tetap berharap agar masyarakat Indonesia dapat terus menghargai dan memahami kehidupan teman disabilitas, apalagi saat ini sudah banyak pihak yang turut mengupayakan edukasi dan kesadaran di setiap peringatan Hari Disabilitas.
Terakhir, ia juga berpesan agar masyarakat ataupun pihak lain yang selama ini berkecimpung di dunia disabilitas untuk jangan menyerah dalam memperjuangkan hak-hak penyandang disabilitas.
“Jangan berhenti untuk memperjuangkan hal yang baik yang sudah pernah dilakukan untuk teman disabilitas, dan itu terus dijaga, bahkan bisa terus berkembang,” ucap Ratna.
Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2022