"Ini tolok ukurnya kepuasan masyarakat sangat rendah. Di satu sisi, ini tantangan buat parpol untuk membangun trust. Di sisi lain, ini salah satu sebabnya liberalisasi politik dan sistem proporsional terbuka yang menyebabkan party-id tereduksi oleh elektoral individual-individual yang seringkali tidak membawa platform dan ideologi parpol," kata Hasto, sebagaimana dikutip dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis.
Baca juga: Fahri Hamzah nilai sistem proporsional terbuka sudah tepat
Baca juga: Politisi milenial lintas parpol tolak sistem proporsional tertutup
Dengan demikian, lanjut dia, persoalan tersebut menjadi salah satu faktor yang membuat PDIP mendorong penerapan proporsional tertutup pada pemilu.
Hal tersebut ia sampaikan sebagai tanggapan atas pertanyaan wartawan dalam seminar nasional bertema “Pelembagaan Partai dan Kepemimpinan Strategis Nasional” yang dilaksanakan oleh Ikatan Alumni Universitas Indonesia (Iluni UI) bersama Sekolah Kajian Strategik dan Global (SKSG) Pascasarjana Universitas Indonesia di Bandung, Jawa Barat, Kamis.
Lebih lanjut, Hasto mengatakan dengan penerapan sistem proporsional tertutup, untuk menjadi pemimpin legislatif, seseorang diharuskan melakukan persiapan, tidak bisa hanya berbasis elektoral dan popularitas.
Seorang yang populer, lanjut dia, harus memahami fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan di DPR dengan baik.
“Partai punya tanggung jawab terhadap kepentingan bangsa dan negara. Kepentingan partai tidak bisa terlepas dari kepentingan rakyat itu. Kita melihat pendidikan kita tertinggal, maka partai memberikan sentuhan bagaimana politik pendidikan yang mencerdaskan anak bangsa. Ini harus dijawab juga oleh partai melalui kebijakan-kebijakan politiknya,” ujar Hasto.
Saat ini, secara umum skor party-id seluruh parpol di Indonesia masuk dalam kategori rendah, yakni 6,8 persen. Meskipun begitu, Hasto mengatakan pihaknya mengapresiasi hasil riset yang menemukan PDIP menjadi parpol yang paling unggul dalam skor party-id.
Dalam kesempatan yang sama, pengamat politik dari Indikator Politik Burhanuddin Muhtadi berpendapat skor party-id yang rendah itu memiliki kaitan dengan hilangnya sistem proporsional tertutup.
Saat pemilu pada tahun 1999 di Tanah Air masih menerapkan proporsional tertutup tahun 1999, kata dia, skor party-id masih di atas 80 persen. Namun ketika proporsional terbuka diperkenalkan pada tahun 2009, tingkat kedekatan partai dengan pemilih itu turun, bahkan mencapai sekitar 20 persen.
“Pertanyaannya kenapa? Karena dalam proporsional tertutup itu yang bertarung adalah partai, karena orang nyoblos partai. Tapi dalam sistem proporsional terbuka, itu aktor atau pemainnya bukan hanya partai, tapi caleg-calegnya pun bertarung. Ketika para caleg bertarung, tidak ada insentif untuk mempromosikan ideologi partai,” ujar Burhanuddin.
Meskipun begitu, menurut dia, sistem proporsional tertutup juga memiliki kelemahannya sehingga ia menawarkan mixed proporsional system, yakni satu formula yang menyatukan kelebihan proporsional tertutup dan terbuka.
Ia mencontohkan sistem seperti itu pernah dilakukan di Jerman yang memiliki 299 daerah pemilihan. Setiap pemilih diberi dua kertas suara, yaitu satu untuk memilih partai dan satu kertas lainnya untuk memilih caleg.
“Kenapa dua? Satu buat kader partai bisa masuk melalui jalur partai. Tetapi untuk kedaulatan pemilih, mereka diberi peluang untuk memperebutkan caleg. Di Jerman, ini cukup sukses mengurangi jumlah partai dan mengurangi jumlah politik uang secara masif,” kata dia.
Pewarta: Tri Meilani Ameliya
Editor: Sigit Pinardi
Copyright © ANTARA 2023