"Imlek itu bukan suatu perayaan atau ritual agama tertentu. Imlek adalah perayaan biasa, merayakan keberhasilan dan kesyukuran, seperti perayaan tahun baru,” katanya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat.
Tokoh masyarakat etnis Tionghoa itu menyatakan semangat Imlek sejatinya bisa dilihat dari isinya, dimana orang-orang bersilaturahmi dan berkumpul dengan semua keluarga besar setahun sekali.
"Kebiasaan silaturahmi sendiri juga diajarkan oleh semua agama, termasuk agama Islam," ujarnya.
Semangat itu yang menurutnya dilaksanakan di perayaan Imlek. Disamping itu pihaknya juga melakukan interaksi sosial dengan bertemu sanak saudara.
“saling memberikan hadiah, bagi yang mampu akan memberikan kepada yang kurang mampu. Bagi yang sudah berkeluarga akan memberikan hadiah kepada yang belum berkeluarga. Bagi yang tua akan memberikan hadiah kepada yang muda. Tradisi-tradisi inilah yang dilihat sangat positif, yang harus dijaga dan dilestarikan,” jelasnya.
Seperti diketahui bahwa Imlek sendiri pernah dilarang untuk dirayakan secara terbuka pada zaman Orde Baru. Hal ini merupakan sejarah kelam bagi bangsa Indonesia. Sehingga menurutnya, dengan ditetapkannya Imlek sebagai hari libur nasional merupakan suatu kemajuan bagi kehidupan masyarakat Indonesia yang beragam.
Dia mengingatkan sebagai tokoh masyarakat dan tokoh agama perlu menjadi contoh yang baik untuk masyarakat di akar rumput.
"Tokoh agama, tokoh masyarakat itu bisa memberikan contoh bahwa lintas agama, etnis itu bisa hidup rukun," harapnya.
Dia berharap semua pihak berkomitmen menjaga NKRI tetap utuh sebagai negara kesatuan, harmonis, dan menuju ke arah cita-cita bangsa menjadi negara yang adil dan makmur sesuai dengan undang-undang.
Baca juga: MUI Sumut: Perayaan Imlek tunjukkan toleransi antarpemeluk agama
Baca juga: Melihat perayaan Imlek di Kota Seribu Kelenteng
Pewarta: Fauzi
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2023