Salah satu bentuk terobosan pembaruan hukum nasional yang sedang digagas, kata Bamsoet, adalah rencana menghadirkan kembali utusan golongan di MPR RI dan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) sebagai peta jalan pembangunan nasional.
“Posisi PPHN yang didasari TAP MPR RI sangat kuat dan tidak bisa ditorpedo Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) maupun di-judicial review Mahkamah Konstitusi,” kata Bamsoet sebagaimana dikutip dari keterangan tertulis diterima di Jakarta, Sabtu.
Dia mengatakan PPHN tersebut bisa digunakan sebagai landasan hukum pembangunan jangka panjang, seperti pembangunan dan pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, serta pembangunan infrastruktur strategis berjangka panjang lainnya.
"Memastikan IKN Nusantara tidak mangkrak seusai berakhirnya pemerintahan Presiden Joko Widodo, sebagaimana Proyek Pusat Pendidikan, Pelatihan, dan Sarana Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang yang mangkrak usai berakhirnya pemerintahan Presiden SBY,” ujar dia.
Bamsoet menyebut PPHN penting untuk memastikan keberlanjutan pembangunan jangka panjang. Pasalnya, dia menilai pemimpin yang baru bisa jadi meninggalkan kebijakan peninggalan (legacy) dari pemimpin sebelumnya.
“Perlu terobosan dan pembaruan hukum nasional berupa PPHN yang memastikan pembangunan jangka panjang tetap dilanjutkan oleh siapa pun yang menjadi presidennya," ucapnya.
Bamsoet mengatakan untuk menjaga muruah PPHN agar tetap mempunyai implikasi dan daya ikat terhadap siapa pun presidennya, maka dapat dilakukan melalui mekanisme atau pranata hak budget DPR RI.
Baca juga: Bamsoet: Bentuk hukum PPHN akan ditentukan bersama
Baca juga: MPR: Hadirkan PPHN bukan pertentangkan dominasi eksekutif-legislatif
Adapun gambaran teknisnya, yaitu DPR dapat menolak dan meminta pemerintah untuk melakukan revisi atau diputuskan menggunakan APBN tahun sebelumnya, jika RAPBN yang diajukan pemerintah tidak sesuai dengan arahan dalam PPHN.
"Misalnya tidak terdapat anggaran untuk pembangunan IKN Nusantara, DPR dapat menolak dan meminta pemerintah untuk melakukan penyesuaian dalam bentuk merevisi kembali ataupun diputuskan menggunakan APBN tahun sebelumnya," jelas dia.
Dia menambahkan bentuk hukum PPHN yang ideal adalah dalam bentuk Ketetapan MPR yang membutuhkan dasar legalitas konstitusional dengan memberi kewenangan MPR melalui amandemen terbatas konstitusi.
Menurutnya, apabila menghadirkan PPHN melalui amandemen dirasa akan menimbulkan kegaduhan politik, maka bisa dilakukan terobosan dan pembaruan hukum dengan menghadirkan PPHN tanpa amandemen.
Bamsoet menjelaskan PPHN tanpa amendemen tersebut ialah melalui konvensi ketatanegaraan dengan menyesuaikan beberapa peraturan perundang-undangan.
Karenanya, kata dia, diperlukan konsensus nasional untuk menyelenggarakan konvensi ketatanegaraan yang melibatkan delapan lembaga tinggi negara, termasuk lembaga kepresidenan.
"Jika sepakat melakukan konvensi ketatanegaraan, maka perlu dibentuk dan disusun substansinya. Konvensi ini kemudian dikuatkan dengan TAP MPR. Saat ini MPR masih memiliki kewenangan TAP MPR yang sifatnya keputusan ('beschikking'),” kata Bamsoet
“Lebih baik lagi jika penjelasan Pasal 7 Ayat (1) Huruf b pada Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2012 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 15 Tahun 2019 ditiadakan atau dihapus sehingga kekuatan TAP MPR yang bersifat 'regeling' atau pengaturan, hidup kembali,” sambung dia.
Diketahui, Bamsoet kini mulai mengajar sebagai dosen tetap pascasarjana program S3 Ilmu Hukum Universitas Borobudur. Pada semester ini, Bamsoet mengajar mata kuliah Pembaruan Hukum Nasional serta mata kuliah Politik Hukum dan Kebijakan Publik pada semester yang akan datang.
Pewarta: Fath Putra Mulya
Editor: Herry Soebanto
Copyright © ANTARA 2023