Putusan yang mengabulkan syarat alternatif pernah atau sedang menjadi kepala daerah juga menggambarkan perdebatan alot di antara hakim
Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti mengatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan sebagian permohonan uji materi mengenai batas usia capres dan cawapres menjadi berusia 40 tahun atau pernah berpengalaman sebagai kepala daerah menggambarkan perdebatan alot di antara hakim.
"Putusan yang mengabulkan syarat alternatif pernah atau sedang menjadi kepala daerah juga menggambarkan perdebatan alot di antara hakim," kata Bivitri dalam keterangannya di Jakarta, Selasa.
Sebab, kata dia, ada dua hakim konstitusi yang menyatakan argumen berbeda tetapi kesimpulan sama (concuring opinion), dan empat hakim konstitusi yang menyatakan berpendapat berbeda (dissenting opinion).
"Memang pada akhirnya posisi 5-4 tidak mempengaruhi kekuatan putusan. Putusan itu tetap harus dilaksanakan sesuai amar putusan. Tetapi dinamika itu, ditambah dengan pendapat berbeda dari hakim Saldi Isra yang menyorot penalaran hukum yang tidak wajar menunjukkan adanya perbedaan pandangan yang tajam dan menguatkan karakter politis putusan itu," ucapnya.
Baca juga: KPU: Kepala daerah wajib izin presiden jika daftar capres-cawapres
Baca juga: Wakil Ketua MPR tanggapi putusan MK soal perbedaan sikap hakim
Baca juga: KPU: Kepala daerah wajib izin presiden jika daftar capres-cawapres
Baca juga: Wakil Ketua MPR tanggapi putusan MK soal perbedaan sikap hakim
Dia memaparkan bahwa ada tiga pola dari tujuh perkara menyangkut batas usia capres dan cawapres yang diputus oleh MK pada Senin (16/10), yakni (1) batas umur saja untuk perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023 yang diajukan Partai Solidaritas Indonesia (PSI); (2) disamakan dengan penyelenggara negara untuk perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023 yang diajukan Partai Garuda dan perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023 yang diajukan kepala daerah; (3) serta disamakan dengan jabatan yang dipilih melalui pemilu (elected officials) lainnya, termasuk di level daerah.
Apabila menggunakan logika atau penalaran hukum yang wajar, lanjut dia, begitu pola satu ditolak dengan alasan kebijakan hukum terbuka, mestinya pola dua dan tiga sudah ditolak dengan alasan itu pula .
Sebab, ujarnya lagi, pola perkara yang manapun sebenarnya tengah meminta MK memutus suatu perkara yang sebenarnya bukan wilayah MK, alias wilayah pembentuk undang-undang (open legal policy).
"Memang untuk pola kedua dan ketiga, MK mendalilkan, bisa ada pengecualian untuk open legal policy yaitu ketidakadilan yang intolerable, tetapi bila dicermati, pokok penalaran-nya bukan ketidakadilan. Kalau soalnya ketidakadilan, bukankah pola pertama juga seharusnya dikabulkan, karena ketidakadilan harusnya juga bisa didalilkan? Jadi pengecualian digunakan sebagai jalan pembuka untuk kemudian membuatkan argumen untuk menjustifikasi syarat substantif untuk menggantikan syarat umur berupa angka," tuturnya.
Baca juga: Anggota Komisi II DPR harap Gibran tolak dicalonkan jadi cawapres
Baca juga: Jokowi sebut tak campuri urusan penentuan capres-cawapres Pemilu 2024
Baca juga: Anggota Komisi II DPR harap Gibran tolak dicalonkan jadi cawapres
Baca juga: Jokowi sebut tak campuri urusan penentuan capres-cawapres Pemilu 2024
Bivitri menambahkan bahwa putusan MK tersebut juga memberikan keuntungan langsung kepada Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka untuk ikut berkontestasi dalam pilpres.
"Pertama, Kita bisa ‘membaca’ dengan jelas bahwa yang akan diuntungkan langsung oleh putusan ini adalah Gibran Rakabuming yang memiliki hubungan keluarga dengan Ketua MK. Kedua, bila kita membaca dokumennya, sebenarnya ada satu perkara, yaitu Perkara 90/PUU-XXI/2023 yang menyebutkan nama Gibran sebagai pihak yang diidolakan oleh pemohon sehingga benturan kepentingannya sangat terang," imbuh dia.
Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2023