• Beranda
  • Berita
  • UGM bantah Wolbachia sebagai senjata pembunuh manusia

UGM bantah Wolbachia sebagai senjata pembunuh manusia

21 November 2023 20:51 WIB
UGM bantah Wolbachia sebagai senjata pembunuh manusia
Peneliti nyamuk ber-Wolbachia di Pusat Kedokteran Tropis Universitas Gadjah Mada (UGM) Riris Andono Ahmad saat menyampaikan keterangan dalam Podcast "Wolbachia, Cara Baru Melawan Dengue" diikuti dalam jaringan di Jakarta, Selasa (21/11/2023). (ANTARA/Andi Firdaus)

Akan tetapi nyamuk betina yang masih ada di populasi alami akan tetap mempunyai kemampuan untuk menularkan virus dengue.

Peneliti nyamuk dengan bakteri Wolbachia di Pusat Kedokteran Tropis Universitas Gadjah Mada (UGM) Riris Andono Ahmad membantah kabar inovasi Wolbachia pada program penanggulangan dengue di Indonesia merupakan hasil rekayasa genetik yang didesain sebagai senjata pembunuh manusia.

"Wolbachia sebagai rekayasa genetik itu disinformasi yang sangat kuat, karena faktanya bakteri Wolbachia bakteri alami yang banyak di berbagai jenis serangga," kata Riris Andono Ahmad dalam Podcast "Wolbachia, Cara Baru Melawan Dengue" diikuti dalam jaringan di Jakarta, Selasa.

Ia mengatakan bakteri Wolbachia yang dimasukkan ke dalam sel di tubuh Aedes Aegypti identik dengan Wolbachia yang ada di inang aslinya, yaitu Drosophila Melanogaster atau jenis serangga bersayap yang masuk ke dalam ordo Diptera, umumnya dikenal sebagai lalat buah

Inovasi tersebut diyakini Riris tidak akan memicu perubahan genetik dari bakteri Wolbachia di sel serangga, maupun pada nyamuknya.

Baca juga: Kemenkes pastikan Wolbachia efektif tekan kasus DBD hingga 77 persen

Baca juga: Bentol akibat gigitan nyamuk ber-Wolbachia beda dari nyamuk lain?


"Analoginya, bakteri Wolbachia ada di banyak serangga kemudian dimasukkan ke dalam nyamuk Aedes Aegypti. Itu mirip seperti kita konsumsi bakteri seperti susu probiotik, begitu bakteri diminum masuk dalam tubuh kita, tidak jadi manusia rekayasa genetik," katanya.

Riris juga menepis kabar Wolbachia sebagai senjata pembunuh manusia sebab dapat memicu penyakit baru manakala bakteri Wolbachia berpindah ke tubuh manusia melalui gigitan nyamuk.

"Ini hoaks yang luar biasa parah. Wolbachia hanya bisa hidup di dalam sel serangga, dia tidak bisa keluar. bagaimana dia keluar ke manusia kalau di luar sel serangga saja dia mati," katanya.

Terkait kabar Wolbachia memicu populasi nyamuk melimpah, seperti yang terjadi di Singapura, Riris tak menampik hal itu.

Ia mengatakan teknologi Wolbachia di Singapura diterapkan dengan menggunakan metode suppression atau penurunan jumlah populasi nyamuk.

Strategi itu diimplementasikan dengan melepaskan nyamuk jantan saja. Perkawinan nyamuk jantan dengan nyamuk betina di populasi alami akan menghasilkan telur yang tidak dapat menetas, sehingga populasi nyamuk akan berkurang.

"Akan tetapi nyamuk betina yang masih ada di populasi alami akan tetap mempunyai kemampuan untuk menularkan virus dengue. Di samping itu, metode supresi mensyaratkan pelepasan nyamuk jantan secara terus menerus, agar populasi nyamuk dapat selalu terkontrol," katanya.

Kementerian Kesehatan RI menerapkan inovasi Wolbachia untuk menurunkan penyebaran Demam Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia.

Efektivitas teknologi Wolbachia telah diteliti sejak 2011 oleh World Mosquito Program (WMP) dan Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta yang terbukti mampu menekan kasus demam berdarah hingga 77 persen serta menurunkan angka rawat inap pasien dengue di rumah sakit sebesar 86 persen.*

Baca juga: Kemenkes: Wolbachia tidak menyebabkan Japanese encephalitis

Baca juga: Peneliti UGM: Tidak ada kaitan Japanese Encephalitis dengan Wolbachia

Pewarta: Andi Firdaus
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2023