Masa kampanye pilpres acap kali menjadi kegaduhan yang diwarnai berbagai pertemuan besar sebagai ajang mengumbar rayuan, aksi gimik, tebar pesona bermodal retorika, hingga saling tantang dan melancarkan jurus menyerang lawan. Kampanye yang semestinya menjadi kesempatan melakukan komunikasi politik untuk menarik simpatik khalayak banyak, malah sering berujung blunder, kontraproduktif, dan menimbulkan antipati. Kalau saja mereka mampu menyingkirkan ambisi mendapatkan suara dengan segala cara, mungkin bisa membuatnya tampil elegan dan lebih menawan.
Pemilihan umum (pemilu), di mana pemilihan presiden (pilpres) adalah salah satu bagian di dalamnya, telah menjadi agenda rutin 5 tahunan dengan kegiatan kampanye termasuk rangkaian proses penting. Karena, kampanye merupakan sarana untuk saling mengenal antara kontestan dengan konstituen. Kesempatan bagi kontestan pilpres untuk memberi iming-iming kehidupan sosial dan berbangsa yang lebih baik dan sejahtera, sementara para konstituen dapat menakar ketulusan sang kandidat untuk melayani rakyat jika nantinya berkuasa.
Kampanye idealnya menjadi sarana komunikasi dua arah, bukan sekadar orasi menggelegar sembari menciptakan dramatisasi kondisi agar sang calon dapat diterima sebagai pembawa solusi. Komunikasi dua arah berarti selain bicara juga banyak mendengar. Filosofi diciptakannya satu mulut dan dua telinga adalah anjuran untuk lebih banyak mendengar ketimbang sibuk bicara tentang ke-aku-an.
Dengan mendengar, calon pemimpin akan menemukan selisih antara harapan dan kenyataan, antara aspirasi dan realitas, alias masalah. Setelah penemuan masalah, saatnya para peserta pilpres berlomba hadir sebagai jawaban, dengan menawarkan berbagai terobosan baru berupa solusi jitu dan bukan hanya gagasan kemas ulang atau program lama berganti nama.
Tidak harus semua adalah program baru, program-program baik yang membawa kemaslahatan bagi masyarakat tentu layak dilanjutkan tanpa perlu gengsi untuk mengadopsinya kembali. Jika semua pemimpin dan calon pemimpin bangsa memiliki tujuan mulia yang sama, memajukan negara dan mengangkat harkat martabat bangsa, maka tak akan ada pertengkaran politik nirfaedah di ruang publik setiap kali menjelang pemilihan presiden.
Sebagai agenda yang rutin dilaksanakan, model dan gaya kampanye setiap 5 tahun harusnya terus mengalami perbaikan. Bila dulu kampanye terkesan gaduh, penuh intrik, saling tantang, dan saling serang, ternyata sekarang pun masih berlangsung sama. Lantas kapan akan “naik kelas” dengan gelaran kampanye yang berkeadaban.
Para peserta pilpres, tim kampanye, dan tim suksesnya semua adalah orang-orang dewasa yang hampir bisa dipastikan telah mengenyam pendidikan politik. Apalagi umumnya mereka juga menggunakan jasa konsultan politik dan manajer kampanye yang dapat diasumsikan selalu memberi masukan untuk berjalannya kampanye yang efektif.
Tujuan utama kampanye untuk meraih opini positif guna mendulang suara pemilih. Bagaimana bisa memperoleh opini positif bila kampanye dilakukan dengan cara negatif? Setiap sesi pemilu sekaligus menjadi sarana pembelajaran dan pendidikan politik bagi pemilih pemula, mereka adalah golongan remaja.
Pemilih pemula memerlukan pertunjukan kampanye yang menarik agar mereka tertarik untuk berpartisipasi memberikan hak suaranya. Bila berpikir dari sisi ini, apakah para aktor politik yang tengah tampil di panggung kampanye itu tidak merasa malu, dengan mempertontonkan drama tanpa makna.
Padahal generasi muda--termasuk pemilih pemula-- adalah pemilih terbesar pada Pemilu 2024 ini. Dari 204.807.222 pemilih yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam daftar pemilih tetap (DPT), sebanyak 113 juta pemilih lebih, adalah Generasi Z dan Milenial. Dengan rincian pemilih Generasi Z sejumlah 46.800.161 atau 22,85 persen dan kalangan milenial sebesar 66.822.389 atau 33,60 persen dari total jumlah DPT.
Dengan mempertimbangkan data KPU tersebut, amat disayangkan jika panggung kampanye tidak berhasil menjadi ajang pembelajaran politik yang mencerahkan bagi pemilih muda yang jumlahnya separuh lebih dari keseluruhan DPT.
Bukan suka sesaat
Mengapa kita lebih banyak memiliki tokoh politikus daripada negarawan? Bila ditarik agak jauh ke belakang, masyarakat juga punya andil dalam melahirkan profil politikus dengan kualitas sedemikian adanya.
Saat kampanye berlangsung, masyarakat akar rumput umumnya dimobilisasi dengan beragam imbalan, termasuk uang. Tanpa iming-iming yang menggiurkan, biasanya mereka enggan datang atau memilih datang ke tempat kampanye yang lebih banyak memberi keuntungan sesaat. Dari sini politik transaksional berlangsung. Politik uang berlangsung karena warga juga berharap memperolehnya.
Akibatnya para politikus bersih yang tidak bermodal uang, gagal mengumpulkan suara signifikan. Akhirnya panggung politik banyak dikuasai para pemain politik uang, yang artinya telah cacat moral sejak awal. Maka pantas pertunjukan kampanye 5 tahunan tak kunjung berkualitas. Karena masyarakat juga yang mengantarkan para ODGM (orang dengan gangguan moral) menjadi politikus, dengan sikap pragmatis memilih siapa yang membayar atau membayar lebih besar.
Memilih pemimpin bangsa bukan urusan kebutuhan hidup satu atau dua hari, melainkan menentukan kualitas kehidupan sosial ekonomi hingga 5 tahun ke depan. Sebab itu, jangan jual suara terlalu murah hanya dengan ratusan ribu rupiah. Milikilah daya tawar yang lebih tinggi dari sekadar uang tunai.
Ketika para kontestan pilpres berkampanye, sampaikanlah aspirasi untuk kepentingan bersama masyarakat banyak, semisal minta dibangunkan gedung sekolah yang layak, minta kucuran modal koperasi unit desa (KUD) untuk penyediaan pupuk bagi para petani, pembangunan gudang pendingin ikan bagi nelayan di dermaga, dan semacamnya.
Tokoh masyarakat sebenarnya bisa melakukan deal-deal tertentu dengan tim sukses capres, untuk mengalihkan alokasi anggaran kampanye di wilayahnya guna membangun sarana prasarana umum. Daripada dana kampanye digunakan untuk membeli alat peraga (poster, spanduk, umbul-umbul) yang hanya menimbulkan sampah visual, atau dibagikan dalam bentuk uang dan sembako yang dikategorikan sebagai politik uang, akan lebih bermanfaat jika dibelanjakan untuk pembangunan.
Membangun sarana prasarana atau sarpras sesuai kebutuhan daerah setempat, akan lebih mengena dalam upaya mengambil hati masyarakat sebagai pemilih, dan juga meninggalkan jejak kebaikan yang lebih awet untuk dikenang. Adakalanya sarpras sederhana dan tidak membutuhkan biaya terlalu besar amat dibutuhkan pada daerah-daerah tertentu, misalnya, fasilitas sanitasi, drainase, irigasi, dan lainnya.
Namun tentu saja harus tulus. Jika pun sang kandidat tidak berhasil terpilih jangan lantas menuntut warga dan membongkar sarpras yang telah dibangunnya. Ikhlaskan, karena hal itu merupakan amal baik yang memberi kemanfaatan untuk orang banyak dalam jangka lama. Dengan begitu hubungan baik antara kontestan pemilu dengan para konstituen berlangsung lebih langgeng karena tidak bersifat modus, transaksional, dan hanya suka sesaat.
Seni komunikasi
Sosiolog AS Everett M. Rogers bersama peneliti dari Universitas Princeton John D. Storey mendefinisikan kampanye sebagai serangkaian tindakan komunikasi yang terencana dengan tujuan menciptakan efek tertentu pada sejumlah besar khalayak secara berkelanjutan pada kurun waktu tertentu.
Kampanye berkaitan erat dengan seni komunikasi karena tanpa strategi dan sentuhan seni, proses transformasi informasi itu tidak akan tersampaikan dengan baik. Inti dari kampanye adalah membangun citra positif agar publik percaya dan menjatuhkan pilihan pada sosok calon pemimpin.
Dalam membangun citra positif tentu harus dilakukan dengan niat dan cara yang baik. Niat yang tulus untuk mengabdi pada negeri, melayani rakyat, dan berjuang memajukan bangsa, akan tercermin dari cara berkampanye yang berkeadaban, karena tidak ada tujuan lain kecuali untuk kebaikan bersama. Berbeda halnya bila motivasi sang calon hanya ingin berkuasa, maka kecenderungan yang ditempuh dengan menghalalkan segala cara.
Dari cara dan etika berkampanye, sesungguhnya masyarakat dapat dengan mudah menilai apakah seseorang memiliki iktikad baik untuk memimpin negeri ini atau hanya sekadar nafsu untuk berkuasa.
Orang yang dikuasai dan dikendalikan nafsu, tutur kata dan sikapnya sering tidak terkontrol, biarpun seberapa pandai ia ahli dalam pencitraan. Sikap panik yang ditandai dengan kesibukan mencari kelemahan lawan untuk dijadikan bahan olokan yang lantas dihembus dan dibesar-besarkan, bisa menjadi tanda seorang calon dengan hasrat berkuasa begitu besar.
Kesibukan menyerang lawan dalam waktu bersamaan membuatnya kehilangan banyak waktu dan kesempatan untuk menggunakan masa kampanye dengan membangun komunikasi dan kedekatan kepada para pemilih.
Padahal kita sangat mendamba sebuah pesta demokrasi yang berlangsung dengan riang gembira sebagaimana layaknya sebuah pesta. Semua kontestan Pemilu 2024 berikut tim sukses dan tim kampanye serta para sukarelawan bersikap sportif. Tidak ada ketegangan, tidak ada permusuhan, tapi mengedepankan persaudaraan dalam perbedaan pilihan.
Jika saja suasana pemilu yang demikian itu nyata, maka para pemilih pemula yang berjumlah separuh lebih dari total DPT, akan dengan senang hati menyalurkan hak suaranya.
Pewarta: Sizuka
Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023