• Beranda
  • Berita
  • China harus hormati putusan PCA atas Laut China Selatan

China harus hormati putusan PCA atas Laut China Selatan

12 Juli 2016 19:57 WIB
China harus hormati putusan PCA atas Laut China Selatan
Peta konflik klaim wilayah antar-negara di Laut Tiongkok Selatan. (inquirer.net)
Jakarta (ANTARA News) - Hari Selasa (12/7) ini Pengadilan Tetap Arbitrase (PCA) di Den Haag, Belanda, mengeluarkan keputusan akhir dalam menyelesaikan kasus sengketa Filipina-China di Laut China Selatan (LCS).

Hal itu adalah kasus tidak hanya terkait dengan beberapa negara Perhimpunan Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) yang mengklaim di kawasan LCS, tetapi juga kepentingan umum seluruh masyarakat internasional karena dengan keluarnya keputusan PCA memastikan dan menjaga kebebasan navigasi dan penerbangan dalam satu rute laut dunia yang paling penting.

Keputusan Permanent Court of Arbitration (PCA) --organisasi antar-pemerintah yang menyediakan berbagai layanan penyelesaian sengketa yang didirikan berdasarkan perjanjian pada 1899 kemudian disahkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)-- juga menjamin dunia sederajat, aturan hukum yang tidak mengecualikan negara lain, membawa perdamaian dan kemakmuran bagi seluruh umat manusia.

Filipina telah menyerahkan kasus sengketa di LCS sejak 2013 ketika pemerintah Presiden Benigno Aquino mengajukan petisi ke pengadilan itu setelah konfrontasi antara kapalnya dengan kapal China di Scarborough Shoal.

PCA, yang juga disebut Sidang Mahkamah Arbitrase Internasional,  terdiri dari lima dewan digelar pada 2013 sesuai
ketentuan dari Annex VII Konvensi PBB tentang Hukum Laut.

Sidang itu terdiri dari jajaran otoritas terkemuka dunia di lanskap hukum laut dan dipimpin oleh Thomas Mensah dari Ghana, dan mantan President Mahkamah Internasional untuk Hukum Laut yang berpusat di Hamburg, Jerman. Mahkamah tersebut juga didukung oleh tiga hakim internasional yang berasal dari Prancis, Jerman dan Polandia, serta seorang mantan direktur Institut Hukum Laut Belanda.


Melalui proses yang memakan waktu panjang, akhirnya PCA juga memberi putusan memastikan objektivitas dan mempertahankan peran hukum internasional dalam menangani sengketa teritorial.

China telah lama menentang persidangan PCS, dan tidak ingin internasionalisasi isu LCS. Mereka ingin berunding langsung dengan masing-masing penggugat tanpa peran mahkamah internasional.

Namun, tindakan yang diprakarsai oleh Filipina hanyalah awal bagi negara-negara yang memiliki sengketa dengan China. Mereka dapat terus menuntut jika negara lain terus mengambil tindakan meningkatkan ketegangan, ekspansi di LCS.

China telah secara aktif melobi negara-negara untuk mendukung pandangan mereka tentang masalah Laut Timur, wilayah Laut China Selatan dari perspektif Vietnam, dan baru-baru ini mengumumkan bahwa ada lebih dari 40 negara yang mendukung argumennya tidak mendukung putusan PCA.

Namun, banyak negara telah menyuarakan pandangan sebaliknya terhadap China, dan persyaratan pemangku kepentingan perlu menghormati hukum internasional, resolusi damai sengketa.

Beberapa hari lalu tepat di depan PCA, Pemerintah China mengadakan latihan militer di Kepulauan Paracel yang juga diklaim Vietnam pada 5-11 Juli dengan skala besar tahun ini, termasuk wilayah timur Pulau Hainan. Berbagai jenis kapal dan perahu dilarang melewati daerah pada durasi latihan militer China berlangsung.

China terang-terangan tidak akan mengakui hasil persidangan PCA. Saat ini Beijing memiliki kendali atas Scarborough Shoal dekat Pulau Luzon, pulau utama Filipina dan kemungkinan untuk merenovasi Shoals ke pulau buatan, seperti yang telah dilakukan dengan sejumlah pulau di Spratly bahwa mereka ilegal diduduki oleh Vietnam.

Indonesia telah meluncurkan sikap resmi tentang masalah tersebut, meminta negara-negara untuk menghormati hukum internasional dan penyelesaian sengketa melalui negosiasi. Indonesia telah menenggelamkan sejumlah kapal asing karena melanggar wilayah perairan Natuna, di LCS termasuk beberapa kapal China. Tapi, China menyatakan bahwa nelayan mereka mencari ikan di lahan perikanan tradisionalnya.

Indonesia juga mulai memperkuat sistem pertahanan di Kepulauan Natuna, dan secara aktif memprioritaskan pembangunan ekonomi dan pariwisata di wilayah tersebut.

Ketegangan terkait LCS meningkat setelah aktivitas China di Kepulauan Spratly yang disengketakan. China mengklaim kedaulatan atas hampir 80 persen dari kawasan itu, salah satu jalur laut penting dalam peringkat dunia, yang setiap tahun mengangkut volume kargo setara dengan lima triliun dolar Amerika Serikat (AS), sementara itu negara-negara anggota ASEAN (Filipina, Vietnam, Malaysia dan Brunei) juga mengklaim sebagian wilayah tersebut.

Kekerasan pecah antara China dan Vietnam pada tahun 2014 ketika China meluncurkan pengeboran minyak laut dalam ketika kapal HD 981 yang dimiliki oleh perusahaan minyak nasional China (CNOOC) di perairan Paracel yang berjarak 240 kilometer sebelah selatan dari Vietnam.

Setelah itu, China mengirimkan beberapa pejabat top ke Hanoi untuk rekonsiliasi. Namun, kapal nelayan China sesekali masih mengambil tindakan dengan menabrak kapal lebih kecil dari Vietnam.

China, Vietnam dan Filipina adalah termasuk tiga negara yang menandatangani Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) tahun 1982. Manila mengatakan, Vietnam telah membantu menjaga perdamaian dalam sengketa dengan Beijing di LCS karena kepatuhan terhadap hukum internasional, dan mendukung pandangan dari Filipina dalam membawa masalah ini ke PCA.

Filipina dan Vietnam tampaknya mengakhiri saling kecurigaan yang telah berlangsung selama bertahun-tahun. Tahun lalu, kedua belah pihak mengadakan pembicaraan kedua angkatan laut akan memperkuat dialog dan kerja sama dengan satu sama lain di masa depan.


Strategi China kuasai LCS

China menyatakan pekerjaan-pekerjaan reklamasi atau pembangunan berbagai fasilitas dilakukan di pulau-pulau miliknya di LCS. Akibat klaim-klaim China, belakangan perlahan-lahan terjadi perubahan status quo.

Pengamat berpendapat China telah menerapkan strategi salami slicing dan gunboat diplomacy di LCS untuk mencapai tujuan-tujuannya, termasuk menyelesaikan perselisihan secara bilateral dengan pihak-pihak yang mengklaim guna menghindari intervensi kekuatan-kekuatan eksternal, seperti AS dan Jepang.

Paracel dan Spratly telah lama diklaim milik Vietnam dan Filipina. Pada tahun 1974, China mengirim pasukan untuk menyerang Paracel dan pada 1980-an, China telah terus menyerang beberapa pulau lagi yang diklaim milik Vietnam.

Dalam kaitan ini Vietnam yang juga masih menantikan keputusan PCA dan merasa tambah percaya diri menghadapi China. Pasalnya, lawatan Presiden AS Barack Obama ke Hanoi baru-baru ini memberikan dukungan bagi negara anggota ASEAN itu yang juga sebagai pihak yang mengklaim di LCS.

Di antara perjanjian-perjanjian yang dibuat AS-Vietnam ialah keputusan mencabut sepenuhnya embargo senjata mematikan atas Vietnam. Secara simbolis langkah itu penting karena mengirim isyarat kepada China bahwa gunboat diplomacy mereka di LCS telah menjadi "senjata berbalik ke arah mereka".

Pada saat bersamaan, hal itu menunjukkan kepada pemimpin China bahwa Vietnam sekarang cukup strategis bagi AS dengan mengesampingkan keprihatinan atas rekor hak-hak asasi manusianya dan bergerak ke arah kerja sama pertahanan. Hubungan pertahanan yang lebih erat antara AS dan Vietnam dapat menjadikan sikap China moderat di kawasan itu.

Oleh Mohammad Anthoni
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2016