"Pemanggilan seluruh operator seluler terkait indikasi bahwa kebijakan menurunkan biaya interkoneksi hanya akan menguntungkan operator yang tidak gencar membangun infrastruktur jaringannya, tapi di sisi lain merugikan TelkomGrup," kata anggota Komisi I DPR RI Effendi Simbolon, ketika dihubungi wartawan, di Jakarta, Jumat.
Menurut Effendi, ada kecurigaan dari DPR bahwa kebijakan itu memberikan kesempatan kepada operator lain untuk memperebutkan "kue" Telkomsel dengan cara yang tidak fair.
"Ada faktor ketidakadilan. Ada operator yang membangun lebih dulu dan lebih banyak (Telkomsel), lalu ada yang mau ikut menikmati. Empat operator yang non-Telkom Group ini kan mau mendompleng ke jaringan Telkom dan Telkomsel untuk mendapat keuntungan," ujarnya.
Senada dengan itu Anggota Komisi I DPR RI, Evita Nursanty mengatakan biaya interkoneksi merupakan "cost recovery" yaitu Telkom dan Telkomsel sebesar Rp285 per menit karena membangun infrastruktur hingga ke pelosok, perbatasan Indonesia. Sedangkan recovery operator lainnya, Indosat Rp86 per menit, XL Rp65 per menit, Smartfren Rp100 per menit dan Tri Rp120 per menit.
"Apa wajar, operator yang sudah membangun hingga ke pelosok negeri dengan biaya yang besar, lalu tarifnya disamakan dengan operator yang hanya membangun di kota-kota besar saja? Kalau bangunnya sedikit, lalu ingin minta yang banyak, itu tidak 'fair'," kata Evita.
Atas dasar itu, menurut Evita, wajar bila Telkom dan Telkomsel menolak rencana Menkominfo menurunkan biaya interkoneksi, karena kebijakan itu dinilai akan merugikan Telkom dan Telkomsel, tetapi menguntungkan Indosat, XL, Smartfren dan Tri.
Sementara itu, Direktur Utama TelkomGrup Alex J. Sinaga mengatakan menolak dan keberatan atas Surat Edaran (SE) yang dikeluarkan Kemkominfo pada 2 Agustus 2016 tentang penurunan biaya interkoneksi dari Rp250 per menit menjadi Rp204 per menit karena belum terjadi kesepakatan antar operator.
"Penolakan dan keberatan itu sudah disampaikan secara tertulis oleh Telkom dan Telkomsel kepada Kemkominfo, namun hingga kini belum mendapat respon," kata Alex.
Menurut dia, biaya interkoneksi yang baru itu sebesar Rp204 per menit jelas merugikan Telkom, mengingat cost recovery menurut perhitungan konsultan, adalah Rp285 per menit. "Itu karena kami membangun jaringan sampai ke pelosok Tanah Air, sedangkan operator lain membangun cuma di kota saja. Kenapa diperlakukan sama?" ujar Alex.
Dirut Telkomsel Ririek Adriansyah menambahkan, berdasarkan PP No 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggara Telekomunikasi pasal 23 ayat 2 menyebutkan, biaya interkoneksi ditetapkan berdasarkan perhitungan yang transparan, disepakati bersama dan adil.
"Perhitungan biaya interkoneksi itu dilakukan secara asimetris yang didasarkan pada biaya (cost based) yang dikeluarkan setiap operator telekomunikasi," kata Ririek.
Sebaliknya, Dirut XL Dian Siswarini, Dirut Indosat Alexander Rusli, Dirut Smartfren Merza Fachys dan Wakil Dirut Hutchison Tri Indonesia Danny Buldansyah mengatakan, penurunan biaya interkoneksi sebesar Rp46 menjadi Rp204 per menit masih terlalu kecil.
Alexander Rusli mengatakan, penurunan biaya interkoneksi adalah untuk memberi kesempatan kepada operator selain Telkom Group untuk berkembang. "Kalau biaya interkoneksi turun, kami bisa memberikan layanan lain yang lebih menarik untuk pelanggan. Interkoneksi masih menjadi barrier sehingga harga murah untuk pelanggan itu masih pada daerah-daerah tertentu bersifat terbatas," ujar Alexander.
Pewarta: Royke Sinaga
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2016