Sifat letusan Gunung Merapi mengarah efusif

25 Mei 2018 12:37 WIB
Sifat letusan Gunung Merapi mengarah efusif
Dokumentasi sejumlah warga mengungsi di Balai Desa Glagaharjo, Cangkringan, Sleman, DI Yogyakarta, Senin (21/5/2018). Ratusan warga lereng Gunung Merapi mengungsi untuk mencari tempat aman di Balai Desa karena hujan abu akibat letusan freatik Gunung Merapi yang terjadi pada Senin pukul 17.50 petang, setelah letusan freatik pukul 01.25 WIB dan pukul 09.38 WIB. (ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah)
Yogyakarta (ANTARA News) - Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) memperkirakan sifat letusan Gunung Merapi mengarah ke efusif berdasarkan gejala deformasi serta kegempaan yang terjadi.

"Dari gejala-gejala yang ditunjukkan hingga saat ini, sifat letusan Gunung Merapi dimungkinkan mengarah ke efusif atau magma akan muncul sebagai lelehan lava di permukaan," kata Kepala BPPTKG, Hanik Humaida, di Yogyakarta, Jumat.

Menurut dia, magma yang ada di dalam tubuh Gunung Merapi memiliki sifat encer sehingga hanya bergerak perlahan menuju permukaan. Pergerakan magma itu juga tidak memberikan tekanan yang cukup kuat sehingga aktivitas kegempaan maupun deformasi tidak terdeteksi secara signifikan.

Kondisi letusan dengan sifat efusif itu, lanjut dia, masuk dalam kategori erupsi magmatis namun tidak sama seperti letusan besar Gunung Merapi pada 2010 yang bersifat eksplosif. Merapi pernah meletus secara efusif pada 2001 dan 2006.

"Jadi, jangan disamakan dengan letusan magmatis pada 2010. Meskipun demikian, masyarakat tetap diminta tenang tetapi waspada. Kami akan melakukan pemantauan kondisi Merapi setiap saat dan memberikan informasi apabila terjadi perubahan," katanya.

Letusan yang bersifat efusif itu memungkinkan kubah lava baru terbentuk. Saat ini, morfologi di puncak Gunung Merapi hanya berupa kawah yang terbuka dan cukup dalam, tanpa ada kubah lava akibat letusan besar yang terjadi 2010.

"Saat kubah lava baru sudah terbentuk, dan jika suatu saat kembali muncul tekanan yang sangat kuat dari dalam tubuh gunung maka akan terjadi letusan," katanya.

Selain dari aspek kegempaan dan deformasi, tanda-tanda proses menuju letusan magmatis di Gunung Merapi juga mulai terlihat berdasarkan hasil uji laboratorium dari material letusan pada 21 Mei.

"Material yang diuji memiliki sifat yang lebih asam dibanding material letusan pada 11 Mei. Kandungan kristalnya pun meningkat hingga mencapai 94,7 persen dari 32 persen," katanya.

Material letusan pada 21 Mei itu, lanjut dia, mirip seperti material letusan Gunung Merapi pada 2006 dan 2010 yang bersifat asam sehingga hal itu menguatkan analisa bahwa Gunung Merapi masuk dalam tahapan menuju proses letusan magmatis.

Sejak letusan terakhir, pukul 10.48 WIB Kamis (24/5), hingga pukul 12.00 WIB Jumat (25/5), data pengamatan tidak menunjukkan aktivitas kegempaan yang signifikan, begitu juga dengan deformasi dan embusan.

Meskipun demikian, status Gunung Merapi tetap dipertahankan dalam level II atau waspada. Masyarakat juga tidak diperbolehkan melakukan aktivitas apapun pada radius tiga kilometer dari puncak untuk mengantisipasi lontaran materil vulkanik apabila terjadi letusan.

Sementara itu, berdasarkan data BPBD DIY, 201 warga di Kalitengah Lor, Kalitengah Kidul, dan Srunen, yang sempat mengungsi ke barak Balai Desa Glagaharno sudah kembali ke rumah masing-masing meskipun masih ada lansia yang tinggal di barak.

Begitu pula dengan 503 warga Turgo yang sempat mengungsi ke SD Sanjaya Tritis sudah pulang ke rumah tetapi masih ada sejumlah lansia yang tinggal.
 

Pewarta: Eka Arifa Rusqiyati
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2018