"Saya ingin melihat pemberdayaan perempuan di seluruh dunia untuk menjadi agen perdamaian, agen toleransi dan agen kesejahteraan," kata Menlu Retno Marsudi, seperti disampaikan dalam keterangan tertulis dari Kementerian Luar Negeri yang diterima di Jakarta, Jumat.
Pernyataan tersebut disampaikan Menlu RI saat menjadi pembicara kunci dalam pertemuan Arria-Formula Dewan Keamanan PBB bertema "What’s Next for Women, Peace and Security in the Middle East and North Africa: The Potential of National Action Plans" di Markas Besar PBB, New York, Amerika Serikat, Kamis (24/1).
Menlu RI menyampaikan rasa bangga bahwa dalam 15 tahun terakhir, sekitar 50 persen diplomat baru Indonesia merupakan perempuan. Di tingkat nasional, peran perempuan dalam pemerintahan juga terus meningkat, dimana 25 persen menteri kabinet Indonesia adalah perempuan dan memegang posisi strategis.
"Sebagai menlu perempuan, saya sangat mendukung isu perempuan. Oleh karena itu, undangan untuk menjadi pembicara kunci langsung saya konfirmasi," tutur Menlu Retno.
Menlu RI juga menyambut baik bahwa kesadaran dunia akan arti penting isu "Wanita, Perdamaian, dan Keamanan" semakin meningkat, termasuk di wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara. Namun demikian, peningkatan tersebut tidak terjadi secara merata.
Menurut Menlu RI, di beberapa belahan dunia, perempuan masih menghadapi tantangan besar akibat dari terus berlangsungnya konflik, kekerasan dan ketidakstabilan kawasan. Seringkali perempuan dan anak-anak harus menanggung beban konflik yang lebih besar.
"Perempuan memegang peranan penting di dalam pencegahan konflik, manajemen konfik, dan bina damai setelah konflik. Karenanya, masyarakat internasional perlu terus mendorong penguatan peran perempuan dalam penanganan perdamaian dan keamanan internasional," ujar Retno.
Lebih lanjut Menlu RI menekankan tiga poin penting yang perlu diutamakan untuk mendorong penguatan peran perempuan dalam penanganan perdamaian dan keamanan.
Pertama, setiap negara perlu membentuk Rencana Aksi Nasional (National Action Plans/NAPs) sebagai titik awal upaya bersama seluruh pemangku kepentingan. Rencana aksi nasional tersebut meliputi antara pemberdayaan dan pemberian hak politik, ekonomi, dan sosial bagi perempuan.
Kedua, kemitraan adalah kunci untuk meningkatkan kapasitas negara mengimplementasikan NAPs. Dalam mengimplementasi NAPs dibutuhkan, antara lain kepemimpinan yang kuat, proses yang inkllusif, kordinasi yang efektif, serta peningkatan kapasitas hukum dan institusi.
Ketiga, diperlukam komitmen politik yang kuat untuk berinvestasi pada hal-hal yang dapat meningkatkan peranan perempuan dalam pengambilan keputusan nasional dan setiap tahap proses perdamaian.
"Investing in women equals investing in peace (Berinvestasi untuk pemberdayaan perempuan sama dengan berinvestasi untuk perdamaian," ucap Menlu Retno.
Dalam koteks itu, Menlu RI menyampaikan rencana Indonesia untuk menjadi tuan rumah penyelenggara lokakarya internasional guna meningkatkan kapasitas diplomat perempuan ASEAN di sektor negosiasi perdamaian.
Indonesia juga terus meningkatkan kapasitas dan jumlah personel pasukan perdamaian (peacekeepers) perempuan. Langkah itu diambil oleh pemerintah Indonesia karena menilai bahwa perempuan memiliki kemampuan alami dalam memenangkan hati dan pikiran komunitas lokal, yang sangat diperlukan bagi keberhasilan Misi Pemeliharaan Perdamaian PBB.
Berdasarkan data per 31 Desember 2018, sebanyak 77 "peacekeepers" perempuan Indonesia tengah bertugas di berbagai Misi Pemeliharaan Perdamaian PBB, dari total 3.062 personel pasukan perdamaian Indonesia.
"Indonesia akan terus meningkatkan jumlah ini, seperti dengan 20 personel polisi perempuan yang telah siap ditempatkan di Republik Afrika Tengah (MINUSCA) sebagai Formed Police Units (FPUs), dan 26 polisi perempuan Indonesia juga siap untuk dikirim ke berbagai Misi Pemeliharaan Perdamaian PBB sebagai Individual Police Officers (IPO)," ujar Menlu Retno.
Pertemuan Dewan Keamanan (DK) PBB mengenai isu "Wanita, Perdamaian, dan Keamanan di Wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara" diselenggarakan oleh Pemerintah Jerman, Peru, dan Inggris dengan dukungan Indonesia.
Pertemuan itu mengambil format "Arria-Formula", yaitu diskusi informal DK PBB untuk bertukar pandang secara lebih bebas, interaktif dan terbuka, dengan menghadirkan pula pandangan negara-negara non-anggota DK PBB serta berbagai pakar, akademisi, dan masyarakat sipil. Pertemuan Arria-Formula DK PBB itu dihadiri para menteri, antara lain dari Indonesia, Jerman, Kuwait, Belgia, Inggris, dan Republik Dominika.
Baca juga: Menlu: Pemberdayaan perempuan tanggulangi ekstremisme
Pewarta: Yuni Arisandy Sinaga
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019