"Pendekatan ini cenderung diambil oleh negara-negara diktator dan fasis seperti Nazi Jerman. Tentu pendekatan diplomasi 'hard power' ini sudah ketinggalan zaman," kata Charles di Jakarta, Minggu.
Saat ini, lanjut anggota Fraksi PDI Perjuangan itu, dalam hubungan dengan negara lain pendekatan diplomasi "soft power" dan multilateralisme sebagaimana yang diterapkan pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) jauh lebih tepat.
"Saya sedih dan kecewa Prabowo tidak percaya diri pada kemampuan bangsa sendiri. Kata Prabowo kita dianggap 'nice guy' dalam diplomasi, padahal faktanya kita sangat dihormati dalam pergaulan internasional," kata Charles.
Sebagaimana dikemukakan Presiden Jokowi, lanjut Charles, Indonesia memainkan peran sebagai negara mayoritas muslim terbesar di dunia. Misalnya, peran Indonesia yang terus konsisten memperjuangkan kemerdekaan dan membantu rakyat Palestina, dan juga dalam meredakan konflik di Rakhine State, Myanmar, sebagaimana diminta oleh PBB.
Dalam diplomasi ekonomi, kata Charles, Indonesia di bawah Presiden Jokowi juga menorehkan pencapaian yang mengagumkan dan memberi kontribusi bagi perekonomian negara.
Ekspor 250 kereta api oleh PT INKA ke Bangladesh dengan nilai kontrak sekitar 100,9 juta dolar AS dan berikutnya Filipina yang sudah meneken kontrak sebesar 52,8 juta dolar AS. Belum lagi ekspor bus yang juga mulai dilakukan ke negara tetangga.
Keberhasilan Presiden Jokowi dalam diplomasi internasional, lanjut Charles, juga dibuktikan dengan kembali terpilihnya Indonesia menjadi Anggota Tidak Tetap Dewan Keamanan PBB.
"Ini merupakan salah satu bentuk pengakuan inetrnasional terhadap peran dan kontribusi diplomasi Indonesia di era Presiden Jokowi," ujar Charles.
Pewarta: Sigit Pinardi
Editor: Yuniardi Ferdinand
Copyright © ANTARA 2019