"Tujuannya bukan membuat normal, bukan membuat sembuh tetapi bagaimana membuat anak (penyandang autisme) bisa hidup dengan kondisinya," kata Mei saat jumpa pers di Gedung Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Kamis.
Menurut Mei, sebagian besar anak penyandang autisme pada dasarnya sudah menunjukkan gejala sejak dini sehingga bisa didiagnosis sebelum mereka berusia 2 tahun.
Namun demikian, ia menyayangkan sebagian besar anak autis didiagnosis setelah berusia 4 tahun. Padahal, seharusnya semakin dini anak terdiagnosis ASD, semakin dini anak akan mendapatkan penanganan yang tepat sehingga memiliki peluang kehidupan yang lebih baik di masa depan.
"Masih cukup banyak orang tua yang tidak sadar bahwa anaknya autis. Makanya, kita bersama teman-teman semua akan terus mensosialisasikan ini karena kejadiannya jauh lebih banyak daripada penderita leukimia atau penyakit lainnya," kata dia.
Kecenderungan angka kejadian ASD, kata dia, semakin meningkat secara global, termasuk di Indonesia.
Data Center for Desease Control and Prevention (CDC, 2018) menyebutkan bahwa prevalensi kejadian penderita autism meningkat dari satu per 150 populasi pada tahun 2000 menjadi sebesar 1 per 59 pada tahun 2014.
ASD lebih banyak menyerang anak laki-laki, dengan prevalensi 1:37, sedangkan pada anak perempuan 1: 151. Merujuk pada data prevalensi tersebut, Indonesia yang memiliki jumlah penduduk sebesar 237,5 juta dengan laju pertumbuhan penduduk 1,14 persen diperkirakan memiliki angka penderita autisme sebanyak 4 juta orang.
"Dulu diagnosis anak autisme hanya dianggap belum bisa bicara atau terkadang dianggap terkena penyakit jiwa," kata dia.
Penderita ASD, kata dia, kerap disertai dengan kondisi gangguan medis dan perilaku lainnya, yaitu disabilitas intektual (45-60 persen), kejang (11-39 persen), gangguan pencernaan (50 persen), gangguan tidur, gangguan sensori (hipersensori maupun hiposensori), gangguan pemusatan perhatian dan gangguan perilaku lainnya.
Oleh sebab itu, dengan mengetahui sejak dini maka orang-orang yang berada di sekitar anak penyandang autisme bisa memberikan perhatian dan dukungan secara khusus terhadap perilaku mereka.
Orang tua bisa mulai menuntun anak bagaimana cara berinteraksi, berkomunikasi, serta bagaimana menghadapi perilakunya karena terkadang anak penyandang autisme mengalami cemas atau tantrum.
"Anak autis kadang berperilaku aneh sehingga berpotensi di-'bully'. Banyak anak autis tidak bisa bersendau gurau, kita bermaksud bercanda tetapi dia serius," kata dia.
Peran faktor genetik, lanjut dia, ditunjukkan adanya peningkatan kejadian ASD pada anak laki-laki, anak kembar identik, maupun pada anak yang mengalami kelainan bawaan seperti sindroma Fragil X.
Faktor lain yang diduga memicu kejadian ASD adalah tuanya usia ibu waktu melahirkan, penyulit kehamilan dan persalinan (ibu hamil dengan DM, prematur, asfiksia, infeksi bayi) dan faktor lingkungan (racun) yang menyebabkan gangguan perkembangan otak.
Direktur The Autism Initiative at Mercyhurst University Prof Bradley McGarry mengatakan pada prinsipnya autisme bukan tidak bisa disembuhkan tetapi memang tidak perlu disembuhkan. Baginya, autisme merupakan bagian kekhususan dari anak itu sendiri.
"Maka orang tuanyalah yang sesungguhnya perlu diterapi supaya menganggap anak ini punya sesuatu yang lebih dan perlu diutamakan," kata Garry.*
Baca juga: Travel For Change ajak anak-anak autis berkreasi di Museum MACAN
Baca juga: Anak Autis pentaskan seni pada peringatan Hari Peduli Autis Sedunia
Pewarta: Luqman Hakim
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019