Mengakali ganjil-genap Jakarta

9 Agustus 2019 20:06 WIB
Mengakali ganjil-genap Jakarta
Situasi lalu lintas yang terkena ganjil-genap eksisting di ruas jalan Letjen S. Parman, Jakarta Barat, Kamis (8/8/2019). (ANTARA/Suwanti)

Saya sih gampang saja, sehari narik, sehari enggak

Pekan pertama Agustus ini bagi masyarakat Jakarta agaknya dibuka dengan perkara klise seputar polusi tinggi dan kemacetan.

Pemimpin nomor satu ibu kota Gubernur Anies Baswedan pun berpikir, salah satu solusinya adalah yakni ganjil-genap.

Ganjil-genap (Gage) adalah sebuah kebijakan yang mengatur kendaraan bermotor bisa melalui ruas jalan tertentu sesuai dengan plat nomor kendaraan yaitu, tanggal genap untuk plat mobil genap dan tanggal ganjil untuk plat nomor ganjil.

Maka tepat pada Kamis (1/8), Anies menandatangani Instruksi Gubernur (Ingub) Nomor 66 Tahun 2019 tentang Pengendalian Kualitas Udara yang di dalamnya memuat poin kebijakan perluasan pembatasan kendaraan bermotor ganjil-genap.

Berbagai kalangan berkomentar menanggapi wacana itu. Ada yang mendukung tanda setuju, misalnya para pimpinan dewan legislatif provinsi dari dua partai pengusung Gubernur Anies.

“Saya kira bolehlah," sebut Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta dari Partai Gerindra, Mohamad Taufik.

Pun begitu dengan Wakil Ketua DPRD lainnya asal Partai Keadilan Sejahtera, Triwisaksana.

“Memang itu perlu dilakukan saat ini mengingat bukan cuma padat lalu lintasnya, polusi udara Jakarta juga tinggi,” kata dia.

Dukungan itu bukan berarti tanpa tapi. Menurut Taufik, perluasan kawasan ganjil-genap harus diterapkan di ruas jalan yang dilalui kendaraan umum, jika tidak, masyarakat akan kesulitan dalam mobilisasi.

Bagi Triwisaksana, kebijakan tersebut harus berlaku sementara. Pemerintah tetap diminta menerapkan solusi yang permanen.

Di sisi lain, ada juga anggota DPRD yang jelas-jelas menganggap kebijakan perluasan ganjil-genap Anies belum diperlukan.

“Menurut saya ganjil-genap ini jangan diperluas dulu, sekarang saja sudah merepotkan. Kalau diperlama masih boleh lah,” kata Wakil Ketua Komisi A Bidang Pemerintahan DPRD DKI Jakarta dari PDI-P, William Yani.

Sementara itu, masyarakat lebih-lebih seperti kebakaran jenggot begitu potongan gambar beredar di media sosial mewacanakan sepeda motor ikut terkena kebijakan.

Dinas Perhubungan (Dishub) Provinsi DKI Jakarta, yang menangani langsung kebijakan ganjil-genap, buru-buru mengonfirmasi bahwa isu tersebut belum resmi dan masih dikaji.

Setelah komentar-komentar yang kebanyakan bernada sumbang, baru pada Rabu (7/8) Dishub DKI Jakarta secara resmi mengumumkan kebijakan itu.

Hasilnya, sebanyak 16 ruas jalan diputuskan menambah sembilan ruas jalan eksisting pemberlakuan sistem ganjil-genap. Sehingga nanti menjadi 25 ruas jalan yang tersambung dalam empat koridor di utara, selatan, timur dan barat.

Sosialisasi dimulai sejak 7 Agustus sampai 8 September, uji coba mulai 12 Agustus sampai 6 September dan akan diberlakukan mulai 9 September.

Sepeda motor tidak jadi diikutkan dalam kebijakan karena alasan tidak signifikan. Namun tetap saja wacana bergulir di masyarakat untuk ‘mengakali’ kebijakan itu, sebab perluasan ganjil-genap adalah lain soal.


Siasat masyarakat
Sejumlah akun di media sosial Twitter, misalnya, menyebut ada beberapa alternatif yang bisa dilakukan agar terhindar dari ruas jalan yang terkena ganjil-genap.

Menaiki angkutan ojek daring dan mencari ruas jalan lain yang tak kena ganjil-genap adalah dua di antaranya.

Siasat ini jelas-jelas jauh dari tujuan utama perluasan ganjil genap, yaitu mengurangi kepadatan di jalan dan menekan polusi udara akibat gas buang kendaraan.

Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Djoko Setijowarno adanya siasat masyarakat untuk menaiki ojek daring justru akan menambah perkara lain.

“Ya memang kecenderungan pengguna sepeda motornya meningkat,” kata dia.

Di sini lain, muncul wacana soal membeli lagi mobil yang dibanderol murah. Bahkan, ada tulisan berisi rekomendasi mobil-mobil dengan harga murah.

Pengamat transportasi dari Institut Studi Transportasi, Deddy Herlambang, mengakui bahwa menyiasati kebijakan ganjil-genap dengan membeli mobil baru bukannya tak mungkin.

“Orang-orang di Jabodetabek kebanyakan mampu, jadi mereka sudah terbiasa beli mobil, ya akan bisa beli mobil lagi,” ucap Deddy.

Namun tidak begitu dengan yang akan dilakukan oleh Mahmud, seorang pengemudi taksi daring. Satu hari setelah pengumuman kebijakan itu, dia begitu sumringah ketika membawa penumpang melintasi Jalan Gunung Sahari, Jakarta Pusat.

"Nanti lewat sini juga kena ganjil-genap, lumayan, mobil bisa berkurang setengah," kata dia kepada penumpang.

Dirinya senang dengan kebijakan perluasan ganjil genap dan mengaku mendukung penuh kebijakan itu.

“Biar tidak macet banget, udara juga bisa lebih bagus sedikit lah, semoga,” tambah Mahmud.

Mahmud tentu sadar bahwa dia dan pekerjaannya itu akan ikut terkena imbas kebijakan perluasan ganjil-genap.

Ditanya mengenai bagaimana nasibnya nanti, dia menjawab santai mengenai caranya mengakali hal ini.

"Saya sih gampang saja, sehari narik, sehari enggak,” ujar dia.

Bagaimanapun pro dan kontra mengenai isi kebijakan ataupun teknis penerapan, toh, perluasan ganjil-genap tetap sudah diresmikan dan segera diberlakukan.

Sikap yang diambil Mahmud kiranya ideal untuk ‘mengakali’ perluasan ganjil-genap.

Di sisi lain, Djoko Setijowarno sebetulnya mengungkap pilihan sikap yang lain, yaitu menggugat penambahan transportasi umum kepada pemprov.


Transportasi umum

Berbagai pihak, baik yang setuju maupun tidak dengan kebijakan perluasan ganjil-genap, nyatanya sepakat soal transportasi umum di ibu kota sebagai penunjang utama kebijakan ganjil-genap.

Misalnya para legislator, Triwisaksana dan William Yani, yang satu suara bahwa moda transportasi umum mutlak dibenahi dan jadi andalan masyarakat jika pemprov ingin secara serius menangani dua masalah ‘bersaudara’, macet dan polusi.

Triwisaksana menyebut transportasi umum perlu ditambah jangkauan khususnya untuk moda berbasis rel, Lintas Raya Terpadu (LRT), Moda Raya Terpadu (MRT), dan Kereta Rel Listrik (KRL).

Senada, William menuturkan, “menurut saya ganjil genap ini bisa diperluas bila LRT dari Bekasi atau Cibubur sudah beroperasi.”

Sedangkan kedua pengamat transportasi, Djoko dan Deddy menilai bahwa moda transportasi umum Jakarta saat ini sebetulnya sudah cukup memadai.

Misalnya dua sistem moda transportasi yang semestinya sudah bisa diandalkan, angkutan kota Jak Lingko dan TransJakarta yang menjangkau penjuru Jakarta.

Dengan begitu, ‘mengakali’ ganjil-genap di Jakarta kini jelas bisa dicoba dengan menaiki angkutan umum kota.

Tampaknya benar bahwa pembenahan transportasi umum agar lebih diminati masyarakat adalah tanggung jawab pemerintah.

Namun, bukankah macet dan polusi adalah soal kita bersama?

Pewarta: Suwanti
Editor: Edy Sujatmiko
Copyright © ANTARA 2019