Menurut Ketua Parang ULM Ahmad Fikri Hadin, di Banjarmasin, Jumat, beberapa persyaratan administratif wajib tidak dipenuhi para capim KPK yang lolos hingga tahapan tes psikologi saat ini.
"Salah satu yang kami soroti soal laporan harta kekayaan yang harusnya dilakukan sedari awal, bukan pada proses akhir. Memang ketentuan pelaporan kekayaan diberlakukan bagi penyelenggara negara. Namun dalam hal mencalonkan menjadi capim KPK, maka meskipun bukan penyelenggara negara tetap harus melaporkan harta kekayaannya kepada KPK berdasarkan ketentuan pasal 29 UU KPK," ujar Fikri.
Menurut dia, penyerahan laporan kekayaan menunjukkan bahwa siapa pun yang mendaftarkan diri sebagai capim KPK akan terbuka terhadap harta kekayaan yang diperoleh dari jabatan sebelumnya.
"Maka tidak tepat jika pernyataan bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme yang tergambar dari harta kekayaan malah dilaporkan belakangan," ujar dosen Fakultas Hukum ULM itu pula.
Baca juga: Pansel capim KPK akan serahkan 10 nama ke Presiden pada 2 September
Kemudian, Fikri juga menghendaki seluruhnya proses pemenuhan syarat administrasi lainnya diserahkan dari awal pula, seperti berijazah sarjana hukum atau sarjana lain yang memiliki keahlian dan pengalaman sekurang-kurangnya 15 tahun dalam bidang hukum, ekonomi, keuangan atau perbankan.
Baca juga: 40 orang lolos tes psikologi calon pimpinan KPK
Selanjutnya, tidak pernah melakukan perbuatan tercela, cakap, jujur, memiliki integritas moral yang tinggi, dan memiliki reputasi yang baik serta melepaskan jabatan struktural dan atau jabatan lainnya selama menjadi anggota Komisi Pemberantasan Korupsi.
"Secara sosiologis publik hendak mengetahui apakah capim KPK benar-benar bersih sedari awal, agar proses seleksi tidak disusupi orang-orang bermasalah," ujar Fikri menekankan.
Atas beberapa isu etik yang menyentuh beberapa capim KPK, Fikri membeberkan calon tertentu pernah dipermasalahkan etikanya karena sebagai aparat penegak hukum bertemu dengan salah satu tersangka perkara yang sedang ditangani institusinya.
"Tentu secara hukum tidak pada tempatnya untuk menyatakan pertemuan itu sebuah pelanggaran hukum. Namun, dalam koridor etika aparat penegak hukum hal tersebut merupakan pelanggaran etik yang tentu saja dipertanyakan masyarakat luas," katanya lagi.
Segala persoalan yang mengemuka, kata Fikri, pihaknya bersama sejumlah lembaga penelitian hukum Indonesia mengeluarkan pernyataan sikap yang dipaparkannya tersebut.
Selain Parang ULM, ada juga PUSaKO FH Universitas Andalas, PUKAT Universitas Gadjah Mada, PUSKAPSI FH Universitas Jember, HRLS FH Universitas Airlangga, PUSAD UM Surabaya, Lembaga Taman Metajuridika FH UNRAM, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) serta Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) FH Universitas Indonesia.
Pewarta: Firman
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2019