"Kebakaran sporadis artinya begini, minggu ini terbakar di sini dan sudah kami padamkan, muncul lagi di sebelah sana dan itu di area perluasan taman nasional eks konsesi HPH (hak pengusahaan hutan) yang memang sudah lama ada aktivitas manusia," kata Halasan Tulus ketika dihubungi Antara dari Pekanbaru, Senin.
Kondisi TN Tesso Nilo diakui Halasan memang sangat kering karena kemarau, namun kebakaran terjadi sangat kecil kemungkinan terjadi secara alami. Area yang terbakar banyak terjadi di lokasi yang diokupasi oleh masyarakat, seperti di daerah Toro.
"Kebakaran secara alami kecil kemungkinannya. Dugaannya karena puntung rokok maupun karena pembersihan lahan bisa saja," ujarnya.
Ia mengatakan area Tesso Nilo yang terbakar belum sampai ke hutan alamnya, namun memang mendekati area Kamp Tim Flying Squad, yang terdapat delapan ekor gajah jinak binaan WWF-Indonesia bersama balai taman nasional. "Memang mendekati sana, tapi sudah bisa dicegat (api) dan dipadamkan," ujarnya.
Upaya pemadaman dilakukan oleh tim gabungan dikerahkan, terdiri dari Balai TNTN, Polri, Masyarakat Peduli Api (MPA binaan Balai Taman Nasional Tesso Nilo), dan Tim Flying Squad. Pemadaman dilakukan siang dan malam untuk mematikan titik-titik api. Namun hingga informasi ini disampaikan Senin 12 Agustus 2019, titik api belum seluruhnya berhasil dipadamkan.
Sementara itu, Humas WWF-Indonesia Program Riau Syamsidar mengatakan secara kasat mata diprediksi luas kebakaran di TN Tesso Nilo sudah mencapai sekitar 40 hektare, termasuk wilayah yang sudah direstorasi. Ia mengatakan delapan gajah jinak dipindahkan ke lokasi yang jauh dari ancaman karhutla dan asap jerebu, namun masih di dalam taman nasional.
"Api yang menuju arah Kamp Flying Squad siang tadi, sekarang sudah bisa diblokir," katanya.
Menurut dia, suhu kering dan cuaca panas yang terjadi di Riau diduga menjadi pemicu utama awal terjadinya kebakaran hutan dan lahan di Tesso Nilo. Titik api terus bertambah dengan kondisi lahan yang merupakan belukar.
"Bertambahnya luas lahan yang terbakar saat ini disebabkan memasuki puncak musim kemarau, 10 sampai 16 Agustus, yang lantas diduga diperparah dengan sejumlah oknum yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan pembukaan lahan perkebunan memanfaatkan momen karhutla," katanya.
Ia mengatakan karhutla merupakan kejadian yang terus berulang setiap tahun. Setelah kejadian karhutla hebat di 2015, terjadi penurunan kejadian karhutla di tahun 2016, 2017. Namun tahun 2018 dan 2019, kejadian karhutla memperlihatkan peningkatan kembali.
"Khusus karhutla di TNTN ini penyebab pastinya masih dalam proses pengumpulan data dan penyelidikan dari pihak-pihak terkait," katanya.
TN Tesso Nilo adalah kawasan konservasi, yang salah satunya berfungsi sebagai habitat asli satwa endemik gajah sumatera (elephas maximus sumatranus).
Awalnya, luas TN Tesso Nilo adalah 38.576 hektare (ha) berdasarkan surat keputusan menhut No.255/Menhut-II/2004.Kemudian kawasan konservasi itu diperluas menjadi 83.068 ha dengan memasukkan areal hutan produksi terbatas yang berada di sisinya, berdasarkan SK No.663/Menhut-II/2009. Namun, kerusakan yang terjadi di kawasan itu akibat perambahan sudah sangat massif yang mengubah bentang alam hutan menjadi perkebunan kelapa sawit.
Pewarta: FB Anggoro
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2019