"Ide apapun terkait memperbaharui konsep substansi konstitusi itu layak dipertimbangkan sepanjang memang bisa dikompatibelkan dengan agenda kesepakatan kita semua yaitu penguatan presidensial," kata Bayu saat dihubungi Antara di Jakarta, Selasa.
Wacana untuk menghadirkan kembali Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) muncul dari rekomendasi dan sikap politik Kongres PDIP ke V di Denpasar Bali, salah satunya ingin mengembalikan kewenangan MPR dalam menetapkan GBHN.
Untuk melihat seberapa perlunya wacana itu, Bayu memulai dari tiga kelompok besar yang menyikapi perubahan satu sampai empat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pada tahun 1999-2002.
Kelompok pertama yang tidak bisa menerima hasil perubahan, menganggap hasil perubahan itu kebablasan karena dinilai menghilangkan ciri demokrasi Indonesia, ciri ekonomi. Sehingga kelompok ini mengembalikan UUD 1945 sebelum perubahan atau naskah asli.
Kelompok kedua yang menganggap perubahan UUD 1945 sudah di jalur yang tepat, sudah dianggap mencukupi, tidak perlu dilakukan perubahan tinggal melaksanakannya saja.
"Kelompok yang pertama juga besar kekuatannya bisa terlihat di partai politik maupun purnawirawan TNI. Kelompok kedua juga kuat, mereka yang ikut terlibat dalam perubahan yang digawangi Forum Konstitusi," kata Bayu.
Sedangkan kelompok ketiga yakni kelompok jalan tengah yang menganggap hasil UUD 1945 satu sampai empat bisa diterima namun setelah hampir 17 tahun perubahan UUD ada hal-hal yang perlu dilakukan penyesuaian yang sifatnya terbatas.
Kelompok ketiga ini, lanjut Bayu, berusaha menjembatani pertentangan keras antarkelompok pertama dan kedua. Maka yang hadir adalah ide perubahan terbatas yakni hadirnya Haluan Negara.
"Hanya haluan negara tidak menyangkut pasal-pasal lain, makanya disebut usulan perubahan terbatas," katanya.
Lalu perubahan terbatas apa yang digagas? Bayu menjelaskan, bila dilihat sudah ada Keputusan MPR Nomor 4 Tahun 2014 tentang Rekomendasi MPR masa jabatan 2009-2014. Di dalam keputusan itu disepakati oleh MPR periode lalu untuk melakukan penataan Ketatanegaraan melalui perubahan terbatas UUD yaitu menghadirkan kembali Haluan Negara.
Konsep ini, lanjut Bagus, dari apa yang ia baca ternyata haluan negara yang ditawarkan bukan seperti era mode baru (sebelum perubahan).
"Haluan yang ditawarkan yang sama sekali tidak akan berimplikasi pada sistem pemilihan presiden," katanya.
Yang artinya, lanjut Bayu, presiden tetap dipilih secara langsung oleh rakyat, bukan haluan negara yang menjadikan presiden sebagai mandataris MPR, tetapi presiden tetap memiliki posisi sejajar dengan semua lembaga negara.
Haluan Negara model baru ini juga tidak ada sanksi pemberhentian kepada presiden dan wakil presiden seperti pada masa Orde Baru.
"Artinya Haluan Negara ini sesuai dengan sistem presiden sial yang dianut Indonesia," katanya.
Bayu mengatakan, jika wacana GBHN yang dimaksud adalah istilah Haluan Negara model baru yang muncul maka silahkan saja dipertimbangkan oleh MPR.
"Yang kita tolak adalah haluan negara seperti GBHN model lama, yakni presiden mandataris MPR, presiden bisa diberhentikan kalau tidak melaksanakan GBHN dan Pilpres dilaksanakan oleh MPR, itu yang kita tolak," katanya.
Bayu menambahkan, jika Haluan Negara yang direncanakan untuk memperkuat perencanaan pembangunan negara bisa dipertimbangkan oleh MPR.
"Ya silakan dipertimbangkan oleh MPR," katanya.
Pewarta: Laily Rahmawaty
Editor: Yuniardi Ferdinand
Copyright © ANTARA 2019