• Beranda
  • Berita
  • Warga Kapuas Kalteng bertani di lahan gambut tanpa bakar

Warga Kapuas Kalteng bertani di lahan gambut tanpa bakar

14 Agustus 2019 08:31 WIB
Warga Kapuas Kalteng bertani di lahan gambut tanpa bakar
Inovator pertanian tanpa bakar di Kalimantan Tengah Yanir dan Deputi Bidang Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi dan Kemitraan Badan Restorasi Gambut Myrna A Safitri di sela sosialisasi pengelolaan gambut di Pondok Pesantren Darul Amin Sampit, Selasa (13/8/2019). (FOTO ANTARA/Norjani)
Bertani di lahan gambut dengan hasil melimpah tanpa harus membakar lahan, ternyata bukan hal mustahil bahkan kini terus dikembangkan oleh warga Kecamatan Kapuas Barat Kabupaten Kapuas,Kalimantan Tengah.

"Saya mulai mencoba menerapkannya pada 2011, tapi tiga tahun saya gagal. Sekarang, saya tanam bawang merah, kini sudah tiga kali panen dan hasilnya sangat memuaskan," kata Yanir saat berada di Sampit Kabupaten Kotawaringin Timur, Rabu.

Yanir merupakan petani yang sudah membuktikan bahwa bertani di lahan gambut bisa dilakukan tanpa harus membakar. Hasilnya juga sangat memuaskan karena tanaman tetap subur asal diperlakukan dengan benar.

Pria yang merupakan Kepala Desa Anjir Kalampan Kecamatan Kapuas Barat, Kabupaten Kapuas itu kini makin dikenal. Kegigihannya bersama warganya dalam bertani tanpa bakar di lahan gambut, kini berbuah manis dengan hasil panen melimpah dan kini menjadi percontohan bagi daerah lain.

Kepala desa dua periode yang berpendidikan sarjana sosial itu mengatakan, memang memerlukan perhatian khusus dalam bertani di lahan gambut. Namun dia memastikan semua itu tidak terlalu sulit karena semua bisa dilakukan secara manual seperti yang sudah mereka lakukan selama ini.

Tanah gambut yang hendak ditanami harus diolah dan dibuat bedeng atau balur yang nantinya menjadi tempat untuk menanam tanaman. Selanjutnya tanah harus disiram dan dijaga agar tetap lembab sehingga tanaman bisa tumbuh.

Yanir mengingatkan, penting untuk memperhatikan tingkat kelembaban dan keasaman tanah agar tanaman bisa hidup. Yanir juga tidak menggunakan pupuk kimia, tetapi pupuk organik berupa kompos yang dibuat dari fermentasi berbagai tumbuhan yang ada di lokasi itu selama 20 hari, seraya menunggu pembibitan sudah siap tanam.

Yanir menambahkan, belum lama ini dirinya menanam bawang merah sebanyak 400 kilogram dan menghasilkan 1,2 ton dan setelah dikeringkan menjadi 800 kg atau 100 persen dari bawang yang ditanam.

Yanir mengaku sangat bersyukur karena petani di desanya mendapat bantuan dari pemerintah dan Badan Restorasi Gambut, mulai dari berbagai alat produksi pertanian hingga pembinaan dan pendampingan.

Keberhasilan mengelola pertanian di lahan gambut tanpa bakar menarik minat banyak pihak. Bahkan beberapa waktu lalu pengunjung dari lima negara datang untuk melakukan studi banding ke desa itu.

Yanir yang sudah tiga tahun bermitra dengan Badan Restorasi Gambut, kini juga sering berkeliling ke desa-desa di Kalteng untuk berbagi ilmu bertani tanpa bakar di lahan gambut. Sedikitnya sudah 100 desa yang didampinginya melaksanakan pertanian dengan sistem tersebut.

Saat ini ada 16 desa di Kotawaringin Timur yang juga tertarik belajar bertani tanpa bakar di lahan gambut. Desa Lempuyang bahkan sudah memiliki demplot atau percontohan untuk pengembangan sistem ini.

"Gambut bisa menjadi berkah jika dikelola dengan benar, bukan malah menjadi bencana. Kami optimistis sistem pertanian tanpa bakar ini bisa dilakukan di seluruh daerah di Kalimantan Tengah," ucap Yanir yang mengaku selalu siap berbagi informasi dan pelayanan.

Deputi Bidang Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi dan Kemitraan Badan Restorasi Gambut Myrna A Safitri mengatakan, bertani tanpa bakar menjadi salah satu solusi mencegah kebakaran lahan dan bencana asap. Untuk itulah pihaknya gencar mendorong pelaksanaan program ini.

"Alat pertaniannya juga sederhana dan tidak mahal, seperti mesin potong rumput. Kami berikan alat pertanian sesuai kebutuhan lahan gambut," kata Myrna.

Menurut Myrna, banyak petani membakar lahan dengan alasan abunya nanti sangat bagus bagi kesuburan tanah. Namun yang tidak disadari warga adalah bahwa kondisi gambut saat ini sudah jauh berbeda dibanding dulu.

Saat kemarau seperti sekarang ini, gambut sangat mudah terbakar dan tidak terkendali serta sulit dipadamkan. Saat terbakar, lahan gambut melepaskan gas-gas berbahaya seperti sianida dan lainnya.

Bertani tanpa bakar diharapkan menjadi solusi. Badan Restorasi Gambut bersama pelopor sistem pertanian ini terus mengampanyekan bertani tanpa bakar sehingga kasus pembakaran lahan bisa terus ditekan.

Pewarta: Kasriadi/Norjani
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2019