• Beranda
  • Berita
  • Aktivitas warga lereng Gunung Slamet Purbalingga berjalan normal

Aktivitas warga lereng Gunung Slamet Purbalingga berjalan normal

14 Agustus 2019 15:05 WIB
Aktivitas warga lereng Gunung Slamet Purbalingga berjalan normal
Puncak Gunung Slamet terlihat dari arah barat, Paguyangan, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. (ANTARA Sumarwoto)

tahun 2014 sempat ada hujan abu karena Gunung Slamet sudah erupsi. Kalau sekarang masih biasa-biasa saja

Aktivitas warga Desa Serang, Kabupaten Purbalingga yang berada di lereng Gunung Slamet sebelah timur tetap berjalan normal meskipun gunung terbesar di Jawa Tengah itu berstatus waspada (Level II), kata Kepala Desa Serang Sugito.

"Alhamdulillah hingga saat ini, aktivitas warga tetap berjalan normal, tidak terpengaruh oleh peningkatan status Gunung Slamet dari aktif normal menjadi waspada," katanya di Purbalingga, Rabu.

Bahkan, kata dia, sejumlah destinasi wisata yang dikelola Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Serang Makmur Sejahtera, Desa Serang, Kecamatan Karangreja, Purbalingga, tetap ramai dikunjungi wisatawan.

Lebih lanjut, Sugito mengatakan hingga saat ini belum ada tanda-tanda yang mengkhawatirkan meskipun Desa Serang berjarak sekitar 8 kilometer dari puncak Gunung Slamet.

"Kalau tahun 2014 sempat ada hujan abu karena Gunung Slamet sudah erupsi. Kalau sekarang masih biasa-biasa saja," katanya.

Saat dihubungi melalui telepon, petugas Pos Pengamatan Gunung Api Slamet di Desa Gambuhan, Kecamatan Pulosari, Kabupaten Pemalang, Sukedi mengatakan Gunung Slamet masih berstatus waspada sehingga masyarakat dan wisatawan direkomendasikan untuk tidak beraktivitas dalam radius 2 kilometer dari kawah puncak Gunung Slamet.

Ia mengatakan berdasarkan pengamatan visual pada hari Rabu (14/8), pukul 06.00-12.00 WIB, Gunung Slamet teramati jelas hingga kabut 0-I serta asap kawah bertekanan lemah teramati berwarna putih dengan intensitas tipis dan tinggi 25 meter di atas puncak kawah.

"Sementara dari sisi kegempaan, tercatat sebanyak 166 kali gempa embusan dengan amplitudo 2-17 milimeter dan durasi 15-50 detik, sedangkan tremor menerus atau Microtremor terekam dengan amplitudo 0,5-3 milimeter, dominan 2 milimeter," katanya.

Ia mengakui jika hingga saat ini, amplitudo tremor menerus yang terekam masih berkisar 0,5-3 milimeter dan dominan 2 milimeter.

Dia mengatakan jika amplitudonya makin tinggi, kondisinya akan lebih berbahaya karena makin besar amplitudo, berarti makin tinggi energinya.

"Amplitudo tremor menerus yang berkisar 0,5-3 milimeter dan dominan 2 milimeter itu belum terlalu besar. Memang besaran amplitudo tremor menerus itu tidak bisa menjadi standar tetapi berdasarkan pengalaman tahun 2014, 5-10 milimeter itu sudah ada erupsi. Bahkan saat itu, amplitudo tremor menerus saat awal erupsi Gunung Slamet masih berkisar 0,5-10 milimeter," katanya.

Kendati demikian, dia mengatakan jika tremor menerusnya meningkat, tidak serta merta status Gunung Slamet akan ditingkatkan karena harus didukung dengan parameter yang lain.

Lebih lanjut, Sukedi mengatakan tipe letusan Gunung Slamet berupa freatik karena tidak mengeluarkan magma, melainkan uap air.

"Meskipun tipe letusannya freatik, saat erupsi Gunung Slamet tahun 2014 diakhiri dengan keluarnya lava pijar, jarak luncurannnya mencapai 2,6-2,7 kilometer dari kawah, menyebar, tidak satu arah, karena tipe erupsinya strombolian," jelasnya. *


Baca juga: BPBD Banyumas siagakan sukarelawan antisipasi erupsi Gunung Slamet
Baca juga: Status Gunung Slamet waspada, masyarakat diimbau tetap tenang

 

Pewarta: Sumarwoto
Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2019