"Amendemen konstitusi harus untuk kepentingan rakyat dan melibatkan publik, itu poin pentingnya," ujar Bivitri dalam diskusi media yang digawangi kelompok sipil KoDe Inisiatif di Jakarta Pusat, Rabu.
Menurut dia, harus dipertanyakan apakah amedemen konstitusi yang akan dilakukan bila ingin GBHN ditetapkan kembali oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) adalah untuk kepentingan rakyat atau segelintir elite politik.
Selain parameter itu, perubahan tersebut juga harus dilakukan dengan dasar apakah akan memiliki efek konkret yang bisa dilihat.
Padahal, dengan sistem tata negara yang berlaku saat ini tidak terdapat fungsi mandat yang diberikan oleh MPR kepada presiden dengan konsekuensi pemakzulan bila tidak dijalankan seperti yang terjadi sebelum reformasi.
Sistem itu berlaku ketika pemilihan dan penetapan presiden dilakukan oleh MPR dan bukan secara langsung seperti yang terjadi saat ini.
Menurut salah satu pendiri sekolah hukum Jentera itu, alasan pengadaan kembali GBHN tapi tidak memiliki konsekuensi seperti dulu, maka dia tidak melihat perlunya dikeluarkan energi untuk melakukan perubahan konstitusi.
"Pertanyaan kritisnya kalau cuma ada dokumen GBHN, gunanya apa? Karena kalau cuman sekedar ada, cost politiknya besar," tegas ahli hukum tata negara itu.
Sebelumnya, Kongres V PDI Perjuangan merekomendasikan agar MPR kembali diberikan kewenangan menetapkan GBHN dengan alasan diperlukan haluan negara yang ditetapkan MPR sebagai representasi seluruh rakyat Indonesia.
Beberapa tokoh sudah angkat suara mengenai wacana tersebut, seperti Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Bambang Soesatyo yang menyebut perlu kajian lebih lanjut dan tidak harus dilakukan terburu-buru.
Pewarta: Prisca Triferna Violleta
Editor: Yuniardi Ferdinand
Copyright © ANTARA 2019