• Beranda
  • Berita
  • Menkominfo : jangan sampai jempol lebih cepat dari pikiran kita

Menkominfo : jangan sampai jempol lebih cepat dari pikiran kita

14 Agustus 2019 20:08 WIB
Menkominfo : jangan sampai jempol lebih cepat dari pikiran kita
Suasana Orasi Kebangsaan dan Audabe pada Kongres Pancasila di halaman Balairung UGM Yogyakarta. (Foto Antara/ Victorianus Sat Pranyoto)
Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara menegaskan bahwa salah satu upaya untuk meminimalisir fitnah perpecahan akibat maraknya hoaks atau berita bohong yakni dengan tidak mudah menyebar berita yang tidak jelas dan provokatif.

"Jangan biarkan jempol kita lebih cepat daripada pikiran, dan begitu mudah menyebar berita bohong, fitnah, dan ujaran kebencian," kata Rudiantara pada Orasi Kebangsaan dan Audabe Kongres Pancasila di halaman Balairung UGM Yogyakarta, Rabu sore.

Baca juga: Menkominfo minta perguruan tinggi siap hadapi perubahan di era digital


Menurut dia, saat ini pihaknya masih menangani ratusan berita bohong yang muncul di berbagai media sosial setiap harinya.

"Pada masa Pemilu 2019, kami menangani hoaks yang jumlahnya kurang lebih empat ratusan setiap hari. Isinya beragam, seperti ngadu-ngadu antara TNI dengan polisi, menghasut masyarakat tentang adanya pembakaran dan lain sebagainya yang disebarkan oleh kurang lebih 600 kanal baik itu Facebook, media sosial lainnya maupun video call," katanya.

Ia mengatakan, atas dasar itulah pemerintah mengambil ketetapan pada saat itu untuk membatasi. Bukan menutup tapi membatasi fitur-fitur tertentu dari dunia digital.

"Yang dibatasi adalah video dan gambar, mengapa ? Karena orang cenderung mudah terbakar, tersulut emosinya apabila menerima video maupun gambar," katanya.

Baca juga: Kemkominfo sebut berita palsu adalah musuh bersama

Pemerintah tidak menutup untuk fitur teks, masih diperbolehkan karena logikanya kalau teks orang membaca pada saat membaca ada kesempatan untuk mencerna.

"Namun karena tingkat literasi masyarakat Indonesia tentang digital masih belum tinggi, akibatnya banyak yang termakan walaupun itu dalam bentuk teks," katanya.

Ia mengatakan, email saat itu juga masih tetap diperbolehkan, beda dengan negara-negara yang lain dimana catatan 13-14 negara di dunia yang melakukan penutupan apabila terjadi sesuatu dengan negaranya.

"Indonesia masih bisa tidak ditutup, tetapi dibatasi ini yang memberikan apresiasi adalah Pemerintah Inggris dan Pemerintah Kanada dan meminta kami menyampaikan pada saat pertemuan "freedom of media" di London.

Rudiantara mengatakan, hoaks sangat luar biasa dampak negatifnya Indonesia.

Baca juga: Dewan Pers: Hoaks masih bertebaran di mana-mana

"Pemerintah melakukan secara berjenjang untuk meminimalisir hoaks, yang paling ideal adalah tingkatkan literasi, meningkatkan kemampuan masyarakat Indonesia sehingga mempunyai ketahanan, mempunyai resiliensi terhadap informasi yang diterima tidak asal-asalan saja," katanya.

Ia mengatakan, yang kedua adalah pengawasan atau isu di dunia maya itu sendiri, melakukan pembatasan akses, melakukan penutupan akun maupun situs yang kontennya bersifat fitnah dan bohong.

"Yang ketiga adalah penegakan hukum oleh teman-teman dari kepolisian," katanya.

Ia mengatakan, yang paling bagus, yang sedang dirumuskan pemerintah adalah sebaiknya pelajaran tentang literasi informasi ini masuk ke dunia pendidikan.

"Di negara Skandinavia, ada satu negara yang masyarakatnya mempunyai resiliensi tinggi terhadap hoaks, mengapa? Karena dari SD sudah diajarkan bagaimana mencerna informasi. Berita bohong ada, tapi mereka mempunyai daya tahan terhadap hoaks," katanya.

Baca juga: Menkominfo minta warga tidak sebarkan hoaks gempa
 

Pewarta: Victorianus Sat Pranyoto
Editor: Nurul Hayat
Copyright © ANTARA 2019