Pengamat hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada Oce Madril menilai wacana untuk menghidupkan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) perlu diperjelas relevansinya dengan sistem presidensial yang pada saat ini digunakan Indonesia.Harus jelas apa relevansi GBHN dengan sistem presidensial pada saat ini, dan apa fungsinya. Kalau belum jelas apa relevansinya maka spekulasi atas motif di balik wacana itu akan menjadi bola liar
"Harus jelas apa relevansi GBHN dengan sistem presidensial pada saat ini, dan apa fungsinya. Kalau belum jelas apa relevansinya maka spekulasi atas motif di balik wacana itu akan menjadi bola liar," ujar Oce ketika dihubungi ANTARA di Jakarta pada Kamis.
Oce menyebutkan sejumlah spekulasi yang berkembang terkait wacana menghidupkan kembali GBHN. Salah satunya adalah menjadikan ide tersebut sebagai pintu masuk untuk mengamendemen pasal-pasal yang dianggap sensitif di konstitusi.
"Ada juga yang menganggap bahwa ini adalah pintu masuk untuk kembali pada sistem lama. Dan spekulasi tersebut menjadi semakin liar bila fungsi GBHN tidak diperjelas apa relevansinya," jelas Oce.
Lebih lanjut Oce mengatakan dengan menghidupkan kembali GBHN, maka ada tiga pertanyaan yang harus dijawab sebelum wacana ini diterima dan direalisasi.
Pertanyaan pertama adalah terkait relevansinya dengan sistem presidensial, kemudian apa ekspektasi terhadap GBHN dan GHBN itu akan berfungsi seperti apa nantinya, tuturnya.
"Pertanyaan terakhir adalah apakah GHBN sebagai panduan nasional akan betul-betul digunakan sebagai panduan. Ini semua adalah pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab sebelum ide GBHN itu diterima," ujarnya.
Oce kemudian mengatakan pihak yang paling relevan untuk menjawab seluruh pertanyaan tersebut adalah MPR, mengingat GBHN sangat berkaitan dengan kewenangan MPR.
"Walaupun ini belum menjadi ide resmi di MPR, namun MPR pada saat ini adalah pihak yang harus menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, karena GBHN itu sangat berkaitan dengan kewenangan MPR walaupun sekarang tidak ada," kata Oce.
Pewarta: Maria Rosari Dwi Putri
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2019