Ombudsman RI mengatakan peraturan tentang pembatasan international mobile equipment identity (IMEI) yang dirumuskan oleh tiga menteri dinilai tergesa-gesa untuk ditandatangani pada tanggal 17 Agustus 2019, dan mengada-ngada.Ada 17 pasal dan isinya tidak subtantif, ecek-ecek saja
"Bahwa ada unsur ketergesaan dari ketiga kementerian untuk sama-sama masing-masing menteri mengeluarkan peraturan menteri tentang pembatasan IMEI yang ditandatangani tanggal 17 Agustus besok," kata Anggota Ombudsman RI, Alvin Lie di Gedung Ombudsman RI, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis.
Alvin menyebutkan standar pelayanan dari peraturan ini belum ada, tapi pemerintah tergesa-gesa untuk menandatangani rancangan peraturan menteri (RPM) terkait pembatasan IMEI tersebut pada peringatan HUT Ke-74 RI nanti.
Ombudsman melihat rancangan peraturan menteri terakhir yang didapat dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) terkesan isinya mengada-ngada.
"Ada 17 pasal dan isinya tidak subtantif, ecek-ecek saja," ucap Alvin.
Saat ditanya bunyi salah satu pasal tersebut, Alvin mengelak dengan alasan tidak baik untuk diungkapkan.
Pembatasan IMEI merupakan usulan dari Kementerian Perindustrian (Kemenperin) sekitar dua tiga bulan lalu, dan rencananya akan ditandatangani tanggal 17 Agustus, serta isi rancangan peraturan menteri itu mengandung 17 pasal, hal ini yang dinilai mengada-ngada oleh Ombudsman.
Karena ketika Ombudsman menanyakan standar pelayanan terhadap masyarakat yang terdampak ternyata aturan tersebut belum mengaturnya.
Ada tiga kementerian yang membuat RPM pembasan IMEI tersebut yakni Kemenperin, Kemkominfo dan Kementerian Perdagangan (Kemendag).
Adapun dampak yang mungkin terjadi dengan adanya pembatasan IMEI seperti masyarakat yang membeli ponsel tapi tidak ada sinyal karena IMEI belum terdaftar, atau warga Indonesia membeli ponsel dari luar negeri, begitu juga wisatawan yang membawa ponsel dari negara asalnya.
Aturan ini juga dikuawatirkan berpotensi mempengaruhi sektor pariwisata Indonesia yang menargetkan 20 juta wisatawan setiap tahunnya.
Ombudsman menyayangkan jika tujuan pemerintah membuat kebijakan pembatasan IMEI untuk mengamankan pendapatan negara dengan mengabaikan kepentingan rakyat akan kebutuhan komunikasi.
Apalagi saat ini kebijakan bea masuk ponsel impor sejak 2018 sudah nol persen, sehingga alasan mengamankan pendapatan negara dinilai tidak tepat.
"Kami mempertanyakan sebetulnya untuk apa segala kerepotan ini," ujar Alvin.
Hal ini berkaca dari kebijakan Kemkominfo tahun 2017 soal kewajiban pengguna SIM card untuk mendaftarkan KK dan NIK-nya yang akhirnya mendapatkan desakan dari provider.
Hilirisasi dengan aturan ini masyarakat terus dibanjiri oleh SMS sampah dan penipuan serta kejahatan yang terus menerus ada.
Menurut dia, jika pemerintah ingin mengendalikan peredaran ponsel akan lebih mudah jika dikendalikan di hulunya yakni melalui pintu masuk barang oleh Bea Cukai dan pajak melalui Dirjen Pajak.
"Kalau barang masuk ada Bea cukai, ketika akan didistribusikan ada Dirjen pajak. Cukup di sana, kenapa harus sedemikian repotnya memblokir IMEI yang berpotensi menimbulkan konflik," tegasnya.
Menurut Alvin, jika aturan yang diusulkan oleh Kementerian Perindustrian tersebut ditandatangani pada tanggal 17 Agustus, Ombudsman akan mencermati peraturan yang keluar itu seperti apa.
"Bagi kami yang utama adalah standar pelayanan masyarakat seperti apa. Apabila mengalami masalah siapa yang menyediakan pelayanan, misalnya, membuka call center, jangan di pusat aja, di daerah juga bagaimana, agar kepentingan rakyat tetap terlindungi," tutur Alvin.
Alvin pun mengimbau agar para menteri mengesampingkan ego pribadinya tidak usah mencari perhatian presiden di 17 Agustus dengan memanfaatkan momen 17 Agustus.
"Kami tau, banyak menteri yang masih ingin jadi menteri, tapi tidak usah aturan yang menyusahkan rakyat," ucapnya.
Ia menambahkan, aturan pembatasan IMEI salah sasaran dan berharap para menteri terutama Kemenperin dan Kemkominfo tidak usah memaksakan diri.
Pewarta: Laily Rahmawaty
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2019