"Ada lima hal yang wajib diperhatikan dan diperkuat guna menjaga keamanan Siber," kata Pratama, di Jakarta, Jumat.
Pratama mengatakan hal itu menanggapi pernyataan Presiden Jokowi yang mengingatkan agar seluruh masyarakat Indonesia untuk tanggap dan sigap dalam menghadapi perang Siber.
Pertama, dari sisi sumber daya manusia (SDM), secara luas agar masyarakat aware, keamanan siber maupun berinternet yang sehat wajib masuk kurikulum pendidikan.
Di sisi lain, kata Pratama, harus ada akselerasi edukasi bagi para pengambil kebijakan agar tidak tertinggal.
Kemudian, secara khusus meningkatkan kuantitas dan kualitas SDM terkait keamanan siber, baik organik yang masuk dalam pemerintahan maupun SDM lepas. Tak kalah penting tadi adalah adanya talent hunter yang "berburu" SDM ke seluruh tanah air.
"Jadi soal kurikulum sangat perlu kolaborasi BSSN, Kominfo, Ristek Dikti dan Kemendikbud," kata Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi (Communication dan Information System Security Research Center/CISSReC) ini.
Kedua, dari sisi infrastruktur pemerintah wajib mendorongnya agar jangan sampai menjadi alasan perusahaan di tanah air untuk menyewa pusat data di Singapura.
"Karena alasan utamanya selama ini adalah minimnya pusat data di tanah air, terutama untuk 'tier' yang cukup tinggi. Indonesia sangat bisa mempunyai infrastruktur siber yang mumpuni, terutama masih banyak wilayah yang belum dimaksimalkan," tuturnya.
Apalagi, lanjut dia, bila ibu kota jadi pindah ke Kalimantan, seharusnya pemerintah sekaligus menjadikan Kalimantan sebagai pusat data nasional yang benar-benar luas dan aman. Namun, masalah ini perlu sekali pembicaraan dengan DPR.
"Ini sangat penting agar pemerintah dan DPR satu paham dalam melihat isu keamanan siber," katanya.
Ketiga, produk hukum berupa UU yang dibuat pemerintah dan DPR masih jauh dari mendukung penguatan keamanan dan pertahanan siber. Pemerintah harus memprioritaskan RUU perlindungan data pribadi, salah satunya.
"Dalam penyusunan RUU KUHP yang baru, harus masuk berbagai jenis kejahatan baru di wilayah siber. Penguatan BSSN lewat UU dan juga tak kalah penting adalah produk hukum yang mendukung industri siber dalam negeri. Baik industri keamanan siber maupun industri kreatif di wilayah siber," papar Pratama.
Keempat, pemerintah wajib mendorong dana riset yang besar untuk keamanan siber.
"Ini sangat mudah sebenarnya dengan mendorong kampus dan industri dalam negeri untuk bekerja sama. Sehingga produk hasil riset di kampus bisa dieksekusi dan segera menjadi produk yang bersaing di dalam serta luar negeri. Ini bisa dilakukan dengan peraturan menteri di setiap kementerian, atau lewat instruksi presiden," ujarnya.
Kelima, dengan adanya infrastruktur dan produk hukum yang baik, seharusnya pemerintah bisa menarik masuk tidak hanya investor, tapi perusahaan teknologi asing untuk menjadikan Indonesia pusat risetnya. Sekaligus ada transfer teknologi langsung.
"Indonesia bisa menjadi seperti New York dimana talenta terbaik dunia dalam berbagai industri berkumpul," tuturnya.
Sementara itu, Presiden Joko Widodo mengingatkan seluruh masyarakat Indonesia untuk tanggap dan sigap dalam menghadapi perang siber di tengah keterbukaan informasi dan komunikasi yang dapat membawa ancaman bangsa.
"Dalam bidang pertahanan-keamanan kita juga harus tanggap dan siap menghadapi perang siber, menghadapi intoleransi, radikalisme dan terorisme," kata Presiden Jokowi dalam Pidato Kenegaraan Sidang bersama DPR dan DPD di Gedung Nusantara Senayan Jakarta, Jumat.
Dengan kemudahan mengakses informasi dan komunikasi, khususnya melalui media sosial, Presiden mengingatkan adanya ancaman di balik kebebasan tersebut. Berbagai ancaman tersebut antara lain dapat menyerang ideologi Pancasila, tradisi, budaya hingga warisan kearifan lokal bangsa Indonesia.
"Kemudahan arus komunikasi dan interaksi juga membawa ancaman terhadap ideologi kita Pancasila, ancaman terhadap adab sopan santun kita, ancaman terhadap tradisi dan seni budaya kita, serta ancaman terhadap warisan kearifan-kearifan lokal bangsa kita," kata Presiden.
Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: Yuniardi Ferdinand
Copyright © ANTARA 2019