"Berdasarkan pengamatan kami dari Pos PGA Slamet di Desa Gambuhan, Kecamatan Pulosari, Kabupaten Pemalang, aktivitas kegempaan Gunung Slamet masih fluktuatif, kadang embusannya tercatat cukup tinggi, kadang berkurang. Demikian pula dengan amplitudo tremor menerus atau Microtremor," katanya saat dihubungi dari Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jumat.
Ia mengakui jika sejak hari Kamis (15/8) hingga Jumat (16/8) siang, amplitudo tremor menerus tercatat 0,5-2 milimeter yang dominan 0,5 milimeter, sedangkan sebelumnya tercatat 0,5-3 milimeter dan dominan 2 milimeter.
Menurut dia, hal itu bukan berarti aktivitas Gunung Slamet mengalami penurunan sejak statusnya ditingkatkan dari aktif normal (Level I) menjadi waspada (Level II) pada hari Jumat (9/8), pukul 09.00 WIB.
"Kegempaan masih fluktuatif karena ketika muncul, naik, lalu turun lagi. Jumlah embusannya juga sama, kadang tinggi, kemudian turun lagi, begitu juga dengan amplitudo tremor, jadi masih fluktuatif meskipun kesannya dua hari ini lebih rendah dari sebelumnya," tegasnya.
Oleh karena itu, kata dia, Gunung Slamet masih berstatus waspada sehingga masyarakat dan wisatawan direkomendasikan untuk tidak beraktivitas dalam radius 2 kilometer dari kawah puncak gunung terbesar di Jawa Tengah tersebut.
Lebih lanjut, Sukedi mengatakan berdasarkan pengamatan yang dilakukan pada hari Jumat (16/8), pukul 00.00-06.00 WIB, Gunung Slamet terlihat jelas serta asap kawah bertekanan lemah teramati berwarna putih dengan intensitas tipis dan tinggi 25-50 m di atas puncak kawah.
Sementara pada pukul 06.00-12.00 WIB, kata dia, Gunung Slamet tampak jelas dan tertutup kabut 0-I hingga kabut 0-II serta asap kawah bertekanan lemah teramati berwarna putih dengan intensitas tipis dan tinggi 25-50 meter di atas puncak kawah.
"Dari sisi kegempaan, pada pukul 00.00-06.00 WIB tercatat sebanyak 320 kali kejadian embusan dengan amplitudo 2-20 milimeter dan durasi 12-50 detik, sedangkan tremor menerus terekam dengan amplitudo 0,5-2 milimeter yang dominan pada 0,5 milimeter. Sementara pada pukul 06.00-12.00 WIB tercatat sebanyak 247 kali kejadian embusan dengan amplitudo 2-18 milimeter dan durasi 15-50 detik, sedangkan tremor menerus terekam dengan amplitudo 0,5-2 milimeter yang dominan pada 0,5 milimeter," katanya.
Dia mengimbau masyarakat yang bermukim di sekitar lereng Gunung Slamet untuk tetap tenang, selalu berkoordinasi dengan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) setempat maupun Pos PGA Slamet, dan tidak terpengaruh oleh berbagai isu yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Sebelumnya, Sukedi mengatakan jika amplitudo tremor menerusnya makin tinggi, kondisinya akan lebih berbahaya karena makin besar amplitudo, berarti makin tinggi energinya.
Kendati demikian, dia mengatakan jika tremor menerusnya meningkat, tidak serta merta status Gunung Slamet akan ditingkatkan karena harus didukung dengan parameter yang lain.
"Memang besaran amplitudo tremor menerus itu tidak bisa menjadi standar tetapi berdasarkan pengalaman tahun 2014, 5-10 milimeter itu sudah ada erupsi. Bahkan saat itu, amplitudo tremor menerus saat awal erupsi Gunung Slamet masih berkisar 0,5-10 milimeter," katanya.
Menurut dia, tipe letusan Gunung Slamet yang berada di antara Kabupaten Banyumas, Purbalingga, Pemalang, Tegal, dan Brebes berupa freatik karena tidak mengeluarkan magma, melainkan uap air.
"Meskipun tipe letusannya freatik, saat erupsi Gunung Slamet tahun 2014 diakhiri dengan keluarnya lava pijar, jarak luncurannnya mencapai 2,6-2,7 kilometer dari kawah, menyebar, tidak satu arah, karena tipe erupsinya strombolian," jelasnya. ***3***
Pewarta: Sumarwoto
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2019