Sekretaris Panglima Laot/lembaga adat nelayan Aceh, Oemardi yang dihubungi dari Banda Aceh, Sabtu, menjelaskan libur melaut bagi nelayan itu sudah menjadi tradisi turun-temurun dan juga bentuk kesadaran bagi masyarakat pesisir di Aceh.
"Sejauh ini, tidak ada pelanggaran yang dilakukan nelayan. Mereka sangat konsisten tidak melaut atau pantang berlayar mencari ikan setiap peringatan proklamasi 17 Agustus," kata dia menjelaskan.
Lembaga Panglima Laot, katanya, telah membuat aturan berupa pemberian sanksi bagi nelayan yang melanggar atau tetap melaut mencari ikan saat peringatan detik-detik Proklamasi Kemerdekaan RI yang dirayakan setiap tahunnya.
Sanksi adat itu, misalnya paling rendah menyita hasil tangkapan sampai menyita kapal yang digunakan beroperasi pada hari pantang melaut. "Ini merupakan komitmen bersama, namun sajuh ini tidak ada yang melanggarnya," tegas Oemardi.
Sekitar 30 persen dari berkisar lima juta penduduk provinsi ujung paling barat Indonesia itu adalah nelayan yang berdiam di tidak kurang dari 800 kilometer garis pantai di Aceh.
"Kondisi itu juga menunjukkan kecintaan dan rasa nasionalisme masyarakat, khususnya para nelayan Aceh kepada Tanah Air, NKRI ini. Pantangan melaut pada hari proklamasi itu juga diputuskan pada saat musyawarah adat nelayan Aceh/panglima laot, sekitar 2002," kata Oemardi.
Selain peringatan hari proklamasi kemerdekaan, bagi nelayan Aceh terhadap pantangan melaut pada saat peringatan/renungan tsunami, setiap 26 Desember. Juga pada saat lebaran Idul Firi dan Idul Adha.
Baca juga: DKP: Nelayan Aceh masih menggunakan alat tangkap ilegal
Baca juga: Nelayan di Aceh tidak melaut selama Lebaran
Baca juga: Peserta SMN Sulsel kunjungi Kampung Nelayan di Papua
Pewarta: Azhari
Editor: Tunggul Susilo
Copyright © ANTARA 2019