Dalam kedatangannya, terdakwa Liliana Hidayat meminta Ainuddin menemui Yusriansyah Fazrin, Kasi Inteldakim Mataram, untuk meminta bantuan dalam penyelesaian masalah, ujarnya
Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam dakwaan Liliana Hidayat, menguraikan perihal uang suap senilai Rp1,2 miliar dalam perkara penyalahgunaan izin tinggal di lingkup kerja Kantor Imigrasi Kelas I Mataram.
Uraian tentang pemberian uang yang diterima Kepala Kantor Imigrasi Kelas I Mataram, Kurniadie, dengan nominal keseluruhannya mencapai Rp1,2 miliar itu disampaikan JPU dalam sidang perdana Liliana Hidayat yang digelar Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Mataram, Rabu.
Pada awal pembacaan dakwaannya, JPU KPK I Wayan Riana didampingi Taufiq Ibnugroho menguraikan tentang temuan pihak imigrasi terkait adanya laporan keberadaan orang asing yang beraktivitas di Hotel Wyndham Sundancer Resort Lombok.
"Pada 1 Mei 2019, bertempat di Hotel Wyndham Sundancer Resort Lombok, terdakwa bersama manajer hotel, Joko Haryono, Manikam Katherasan, Geoffery William Bower, dan Michael Burchett bertemu dengan pihak Imigrasi Kelas I Mataram, Ayyub Abdul Muqisth, I Made Muniarta dan Yuning Kurniati," kata Jaksa.
Baca juga: Dua pejabat Imigrasi Mataram tersangka suap terancam dipecat
Dari pemeriksaannya, diketahui bahwa Manikam Katherasan asal Singapura dan Geoffery William Bower asal Australia telah menyalahgunakan izin tinggal dengan masuk ke Indonesia menggunakan visa bebas kunjungan.
Terkait dengan hal tersebut, paspor milik kedua WNA ditahan oleh pihak imigrasi dan diminta untuk datang ke Kantor Imigrasi Kelas I Mataram bersama manajer hotel Joko Haryono.
Esok harinya, kedua WNA didampingi manajer hotel datang ke Kantor Imigrasi Kelas I Mataram memenuhi panggilan PPNS Imigrasi untuk menjalani proses pemeriksaan lanjutan.
Hasil dari pemeriksaannya, kedua WNA dinyatakan oleh PPNS Imigrasi melanggar Pasal 122 Undang-Undang RI Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian. Namun karena keduanya sedang sakit, langkah detensi (penahanan) dibatalkan dan diminta untuk kembali datang ke Kantor Imigrasi Kelas I Mataram pada 3 Mei 2019.
Baca juga: Pengadilan Mataram gelar sidang perdana suap imigrasi
Kemudian pada 3 Mei 2019, kedua WNA kembali datang ke Kantor Imigrasi Kelas I Mataram dengan didampingi penasihat hukumnya, Ainuddin dan Anton Zaremba.
"Dalam kedatangannya, terdakwa Liliana Hidayat meminta Ainuddin menemui Yusriansyah Fazrin, Kasi Inteldakim Mataram, untuk meminta bantuan dalam penyelesaian masalah," ujarnya.
Dari pertemuan Ainuddin dengan Yusriansyah, disampaikan bahwa pihak imigrasi akan mencari cara penyelesaiannya dengan menunggu keputusan Kepala Imigrasi Kelas I Mataram, Kurniadie, yang ketika itu sedang keluar kota.
Selanjutnya pada 4 Mei 2019, terdakwa bersama kedua WNA didampingi penasihat hukumnya dan juga Joko Haryono, bertemu dengan pihak imigrasi di Hotel Seraton, di wilayah Senggigi, Kabupaten Lombok Barat.
Dalam pertemuannya, kedua WNA meminta terdakwa untuk menyelesaikan persoalannya dengan cara memberikan uang kepada pihak imigrasi.
Baca juga: Pejabat imigrasi tersangka suap masih terima gaji ASN
"Kemudian pada 15 Mei 2019, terdakwa menemui Kurniadie di ruangannya atas bantuan Dewa Putu selaku Kepala Biro Ops Polda NTB, dan memperkenalkan diri serta meminta tolong kepada Kurniadie agar dapat dibantu menyelesaikan permasalahannya," kata jaksa Taufiq Ibnugroho melanjutkan.
Dari pertemuan tersebut, Kurniadie memerintahkan terdakwa untuk menyelesaikan persoalannya dengan Yusriansyah. Agar kasusnya tidak lanjut ke proses persidangan dan hanya diberikan sanksi administratif berupa deportasi, disepakati harga Rp1,2 miliar.
Selanjutnya, eksekusi penyerahan uang dilakukan pada 24 Mei 2019 di Kantor Imigrasi Kelas I Mataram. Uang dengan nominal awal Rp725 juta diberikan dengan cara menaruhnya di tong sampah depan ruangan Yusriansyah. Kemudian uang kedua, dengan nominal Rp473 juta turut diberikan dengan cara yang sama.
"Untuk sisanya Rp2 juta diserahkan di bandara, ketika kedua WNA akan dipulangkan," ucapnya.
Pewarta: Dhimas Budi Pratama
Editor: Edy Supriyadi
Copyright © ANTARA 2019