"Mengemis dewasa ini seolah menjadi kegiatan ekonomi yang instan dan menggiurkan, jadi profesi tidak resmi," kata Agus pada Workshop Nasional Penanganan Gepeng dalam Implementasi Permensos No.9 Tahun 2018 di Jakarta, Kamis.
Bahkan tidak jarang, kata Agus, saat terjaring razia atau penertiban, justru mereka punya aset dan kekayaan yang tidak sedikit bahkan kadang melampaui kelas menengah atas.
"Ini dikategorikan pengemis manipulatif karena mereka nyatanya melakukan manipulasi demi menarik empati dan belas kasih orang lain," katanya.
Juga yang menarik, menurut Agus, praktik mengemis juga bisa bersifat kolektif. Mereka tergabung dalam suatu sindikat terkoordinasi dan terorganisasi bahwa mengenal wilayah operasi dan modus seperti sewa menyewa anak juga ada penggunaan obat terlarang untuk mengkoordinir mereka.
"Kasus seperti ini tentu di luar rehabilitasi juga diperlukan penegakan hukum untuk memberikan efek jera terhadap pelaku. Yang terpenting memangkas jaringan yang menjadi manusia sebagai komoditas," kata Agus Gumiwang.
Menurut Agus, pengemis yang tergolong dalam kategori tersebut bukan karena dorongan faktor ekonomi tapi karena faktor mentalitas.
Selain itu, lanjut Agus, banyak faktor lain yang melatarbelakangi menjadi gepeng (gelandangan dan pengemis). Karena itu sifatnya sistemik maka penanganan menuntut kolaborasi antarlembaga, pemerintah, Lembaga Kesejahteraan Sosial dan peran serta masyarakat.
Pembinaan gepeng di daerah perkotaan harus sejalan dengan kegiatan pemberdayaan di pedesaan agar mereka tidak terdorong lagi untuk datang ke kota.
Kemensos selama ini telah mengembangkan program intervensi antara lain Program Desaku Menanti untuk menumbuhkan kemandirian dan juga pemberian bantuan Usaha Ekonomi Produktif, kata Agus.
Baca juga: 36 pengemis dan anjal terjaring selama Ramadhan 1440 H
Baca juga: Satpol PP Banjarmasin tertibkan puluhan pengemis bergerobak
Baca juga: Dinsos Palembang amankan gelandangan pengemis bermodus gerobak
Pewarta: Desi Purnamawati
Editor: Masnun
Copyright © ANTARA 2019