Sebab, menurut pandangan Islam, tidak ada yang berhak mengkritisi dakwahnya. Hal tersebut juga berlaku bagi ajaran lainnya yang tidak membenarkan Islam dan Alquran.
"Kalau mau memproses secara hukum, pendeta yang menghina air zam-zam juga harus diadili. Olehnya, yang melaporkan UAS ini harus dilaporkan kembali dan semestinya ditahan," kata Ustad Hasan, sapaannya di Makasar, Kamis.
Baca juga: Wapres imbau pendakwah agama sampaikan khotbah yang damai
Sebab jika UAS dipenjarakan, maka itu dikategorikan ketidakadilan dan mendiskriminasikan ulama dengan selalu mencari-cari kesalahan ulama.
Ustad Hasan menyampaikan bahwa jika kasus ini terus berlanjut maka pihak berwajib secara terang-terangan telah berpihak. Meski begitu, Ia menegaskan seluruh organisasi masyarakat (Ormas) Islam akan bereaksi, khususnya di Sulawesi Selatan.
"Kami akan mendukung penuh UAS. Secara pribadi saya akan turut meramaikan situasi tersebut. Ini berkaitan dengan harkat dan martabat Islam. Jika tidak ditegakkan maka kita sudah tidak ada nilainya," katanya.
Baca juga: Ustaz Abdul Somad penuhi panggilan MUI
Baginya, UAS merupakan sosok ulama yang dikagumi, sehingga umat Islam yang ikut membully sangat dekat dari kemunafikan.
Sementara Ketua FUIB Sulsel, Ustad Muchtar Dg Lau mengatakan, selain UAS masih banyak kalangan yang menyampaikan ajaran lebih keras. Olehnya, perlu keseimbangan dalam menanggapi setiap kasus. Khususnya bagi para penegak hukum, harus adil dalam polemik hukum yang menimpa UAS.
Terkait ceramah yang menyudutkan UAS, Ustad Muchtar beranggapan bahwa pertanyaan yang dijawab UAS bersifat umum dan telah terjadi beberapa tahun yang lalu.
Baca juga: Lembaga Adat Melayu Riau dampingi Ustaz Somad di kasus "salib"
"Sehingga, jangan sampai kasus yang terjadi saat ini menjadi bagian dari kriminalisasi terhadap ulama," katanya.
Terhadap kasus ini, Ustad Mukhtar menyampaikan bahwa FUIB akan melakukan diskusi bersama seluruh ormas terkait langkah selanjutnya, sebab FUIB tidak bisa sembarang mengambil keputusan dan harus melalui diskusi dulu.
Pewarta: Nur Suhra Wardyah
Editor: Heru Dwi Suryatmojo
Copyright © ANTARA 2019