Beberapa hari terakhir wilayah Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat kerap digoyang gempa dengan kekuatan yang kecil namun kedalaman dangkal.Aktivitas gempa ini merupakan cerminan berlangsungnya proses pelepasan tegangan pada batuan kulit Bumi
Aktivitas gempa kecil yang terus terjadi di wilayah Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, sejak Sabtu (10/8) hingga Jumat ini masih terus berlangsung.
Hingga Rabu malam (21/8), Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) sudah mencatat sebanyak 76 kali aktivitas gempa kecil dalam berbagai variasi magnitudo dan kedalaman.
Dari sekian banyak gempa yang terjadi, lima gempa di antaranya guncangannya dirasakan oleh warga, yaitu gempa magnitudo 3,0 pada Senin (19/8) pukul 08.13.12 WIB, disusul gempa magnitudo 2,5 pada hari yang sama pukul 22.52.16 WIB.
Lalu pada Rabu (21/8) gempa bermagnitudo 3,9 pukul 03.06.16 WIB dan di hari yang sama dua gempa lainnya juga dirasakan dengan magnitudo masing-masing 3,4 pada pukul 11.24.05 WIB dan magnitudo 3,3 pada pukul 20.49.58 WIB.
Gempa-gempa yang terjadi tersebut masing-masing berada pada kedalaman yang bervariasi namun dangkal mulai dari satu kilometer hingga 19 kilometer dan berada di darat.
Bahkan pada Jumat (23/8) gempa berkekuatan 4,0 kembali mengguncang Kabupaten Bogor tepatnya pada pukul 11.10.59 WIB dengan kedalaman pusat gempa lima kilometer.
Tentunya rentetan gempa ini menjadi tanda tanya besar bagi masyarakat dan menimbulkan keresahan karena ada kekhawatiran terkait dengan gempa besar yang diramalkan akan terjadi di selatan Jawa.
Kepala Bidang Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami BMKG Tiar Prasetya mengatakan, gempa-gempa dengan kedalaman dangkal bahkan sangat dangkal disebut juga swarm merupakan dampak dari sesar yang aktif.
"Jadi setiap pergerakan sesar itu lalu patah, terjadi gempa maka energi yang dikeluarkan kecil," katanya seraya menambahkan pergerakan sesar sering terjadi dalam waktu-waktu tertentu bisa dalam sebulan atau dua bulan.
Baca juga: BMKG sebut gempa Bogor akibat aktivitas tektonik Sesar Citarik
Swarm
Ahli gempa Jepang Kiyoo Mogi (1963) mengklasifikasikan gempa ke dalam tiga tipe, yaitu gempa tipe 1 dicirikan dengan terjadinya gempa utama (mainshock) yang diikuti oleh gempa susulan (aftershocks).
Gempa tipe 2 dicirikan dengan munculnya gempa pendahuluan (foreshocks), kemudian terjadi gempa utama dan diikuti oleh aktivitas gempa susulan.
Lalu gempa tipe 3 dicirikan dengan munculnya aktivitas gempa yang berlangsung secara terus menerus dengan magnitudo yang relatif kecil tanpa ada gempa utama.
"Jika kita mengamati rentetan gempa yang sedang berlangsung di Bogor saat ini, tampak bahwa fenomena gempa yang berpusat di Kecamatan Nanggung ini merupakan gempa tipe 3, yaitu aktivitas gempa swarm," kata Kepala Bidang Mitigasi Gempabumi dan Tsunami BMKG, Daryono.
Swarm adalah serangkaian aktivitas gempa yang terjadi di kawasan sangat lokal, dengan magnitudo relatif kecil, memiliki karakteristik frekuensi kejadian sangat sering, dan berlangsung dalam periode waktu tertentu.
Aktivitas gempa di Kabupaten Bogor saat ini layak disebut swarm karena gempa yang terjadi sangat banyak tetapi tidak ada gempa yang magnitudonya menonjol sebagai gempa utama (mainshocks).
Selain itu memang rata-rata magnitudo gempa relatif kecil, yaitu kurang dari Magnitudo 4,0.
Jika mengamati klaster sebaran pusat gempa yang berlangsung saat ini, tampak aktivitasnya sangat lokal terkonsentrasi di sebelah barat daya Kaki Gunung Salak.
Hasil analisis mekanisme sumber menunjukkan bahwa gempa yang terjadi dibangkitkan oleh penyesaran dengan mekanisme yang merupakan kombinasi pergerakan mendatar dan naik (oblique thrust fault) dengan kecenderungan strike berarah utara-selatan.
Daryono menjelaskan, dari hasil analisis ini ada dugaan bahwa swarm yang terjadi berkaitan dengan mekanisme penyesaran lokal, apalagi didukung dengan data bentuk gelombang yang menunjukkan fase gelombang S (shear) yang tampak kuat dan jelas.
Namun demikian hingga saat ini belum diperoleh referensi mengenai keberadaan struktur sesar aktif yang diduga menjadi pembangkit gempa swarm ini.
Hasil kajian yang dilakukan Pepen Supendi dan kawan-kawan pada tahun 2018 sudah menyebutkan adanya klaster aktivitas gempa di barat daya Gunung Salak.
Di klaster ini terjadi 9 kali gempa selama periode 2011-2015 yang memiliki magnitudo 2,0 hingga 4,6.
Dalam peta seismisitas Jawa Barat dan Banten periode 1990 - 2000 juga tampak adanya klaster aktivitas gempa yang cukup mencolok di barat daya Gunung Salak.
"Ini artinya aktivitas gempa Klaster Bogor ini sebenarnya sudah sering terjadi sejak lama," kata Daryono.
Baca juga: Aktivitas Sesar Citarik penyebab gempa kedalaman 1 km di Sukabumi
Fenomena Alam Biasa
Berdasarkan data hasil monitoring BMKG terkini, tampak ada kecenderungan frekuensi kejadian gempa swarm semakin meningkat.
Aktivitas gempa ini merupakan cerminan berlangsungnya proses pelepasan tegangan pada batuan kulit Bumi yang berlangsung karena karakteristik batuan yang rapuh (brittle).
Jika medan tegangan yang tersimpan di dalam sudah habis, maka aktivitas gempa swarm ini dengan sendirinya akan berakhir.
Bagi kalangan ahli, gempa swarms merupakan fenomena alam biasa. Namun demikian karena fenomena semacam ini jarang terjadi dan masyarakat sebagian besar belum banyak memahaminya, maka wajar jika banyak yang merasa resah.
Pada beberapa kasus gempa swarm biasa juga terjadi di zona gunung api. Swarms dapat terjadi di bagian yang mengalami akumulasi medan tegangan berkaitan dengan aktivitas pergerakan magma.
Selain berkaitan dengan aktivitas vulkanisme, beberapa laporan menunjukkan bahwa gempa swarms juga dapat terjadi di kawasan non-vulkanik.
Fenomena swarms memang dapat terjadi pada kawasan dengan karakteristik batuan rapuh dan mudah mengalami retakan-retakan (fractures).
"Untuk menjawab apakah fenomena swarm pada klaster Bogor ini dibangkitkan oleh aktivitas sesar (tektonik) atau vulkanisme, tampaknya perlu ada kajian yang lebih mendalam untuk menjawabnya," jelasnya.
Terlepas dari faktor penyebab pembangkit gempa swarm, yang pasti rentetan aktivitas gempa yang terjadi saat ini dan sebelumnya sudah cukup menjadi petunjuk bahwa adanya sumber gempa pada Klaster sebelah barat daya Gunung Salak.
Baca juga: Gempa Sukabumi akibat sesar yang aktif
Melek Bencana
Wilayah Indonesia memang rawan terjadi gempa karena terletak di zona pertemuan tiga lempeng tektonik yaitu Lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik.
Sudah tentu ketika lempeng bergerak maka tanah di atasnya akan bergoyang yang disebut gempa.
Karena hingga saat ini belum ada teknologi yang mampu menginformasikan kapan dan di mana gempa akan terjadi, maka bisa saja gempa terjadi sewaktu-waktu.
Sudah semestinya masyarakat yang tinggal di daerah rawan gempa lebih memahami mitigasi bencana dan cepat tanggap saat gempa terjadi. Paham apa yang harus dilakukan sebelum, saat dan sesudah gempa.
Masyarakat harus 'melek' terhadap kerawanan bencana di daerahnya masing-masing seperti yang dikatakan Menteri Sosial Agus Gumiwang Kartasasmita.
Maka kesiapsiagaan bencana sangat penting. Masyarakat tidak perlu takut tinggal di daerah rawan bencana, yang terpenting informasi potensi gempa harus direspon dengan langkah nyata dengan memperkuat mitigasi.
Baca juga: Gempa 3,9 SR getarkan Sukabumi
Pewarta: Desi Purnamawati
Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2019